kirimkan hujan ini ke . . .

Senin, 16 Mei 2016

WOUNDED HEALER

Kata-kata yang basi. Hati yang rapuh patah berkali-kali. Padahal saya bukan lagi penyembuh, tidak lagi. Semenjak saya menyadari bahwa ada yang begitu berbeda dari diri saya, saya mengambil langkah pelan-pelan untuk berhenti. Tidak lagi menjadi penyembuh kecuali kewajiban atas nama profesi (kelak). Jadi, kelak saya akan menyembuhkan bukan karena hati, alasan emosional manusia belakangan ini. Tapi karena tugas dan sumpah yang harus ditepati. Yah, itu jika saya masih berkeras ituk meneruskan yang katanya mimpi. Ah, tidak mimpi saya bukan itu. Sepertinya saya tidak lagi punya mimpi, begitu.

Entah hati yang terlalu rapuh sehingga menyelinapkan foto-foto menyakitkan ke otak yang lalu dipenjara dalam benak. Atau nalar tak lagi tangguh sehingga sedikit kata-kata, sedikit laku biasa dimaknai luka hingga menyayat hati sedemikian rupa. Banyak yang terjadi setahun ini... dan sepertinya sudah dimulai sejak manusia-manusia yang terakhir itu kuceritakan. Ah, rasanya saya tak mampu lagi bersama mereka. Rasanya payah dam akhirnya hati luka-luka.

Kisah masa kecil yang penuh trauma sudah bukan lagi rahasia. Saya sudah bisa menyebarkannya sedikit-sedikit, bukan untuk membuat iba, hanya melepas apa yang dipenjara. Tapi lalu trauma-trauma itu membuat jaring laba-laba, mengikat luka dan menamai setiapnya. Akibatnya, apa dan siapa sudah tidak mampu lagi saya percaya. Karena, apakah jika saya percaya mereka akan menjaga saya, seperti saya menjaga mereka. Karena ditinggalkan adalah keniscayaan yang tinggal tunggu waktu saja.

Teori-teori bilang seharusnya yang tidak saya percayai adalah akal yang saya kira masih walafiat. Teori bilang seharusnya saya berpikir lebih positif dan menyeimbangkan diri lebih kuat. Katakan pada saya bagaimana seharusnya mengubah pikir ketika yang kau hadapi realita. Bukan kira-kira belaka. Bukan hati yang terlalu peka merasa. Masihkah aku harus menyerahkan percaya meski ingkar di depan mata ? Atau manusia saat ini lebih suka pura-pura ? Saya dengar, bermuka dua adalah syarat menjadi dewasa.

Sayangnya, saya tidak pernah setengah-setengah dalam laku. Saya puas dengan satu. Buat saya sebuah lebih menggenapi daripada dua namun rancu. Tapi kadang-kadang saya belajar menjadi munafik itu perlu. Terutama tujuh bulan belakangan ini. Penderitaan terus bertambah tujuh bulan belakangan ini. Mengekang segala hasrat emosi sudah tak mempan lagi. Pertahanan lama-lama runtuh. Air mata lama-lama luruh. Ah, lalu saya butuh bahu. Yang tak pernah hadir setiap waktu.

Tujuh bulan ini saya dipaksa bertahan sendirian. Lebih sendirian lagi dua-tiga bulan belakangan. Di mana dunia yang saya percayai akan membaik setelah setiap kali episode-episode ini mendera ? Ke mana peluk-peluk dan hangatnya kekata ? Hilang, mungkin semesta tak paham bagaimana saya membutuhkan sebuah tempat untuk pulang, atau semesta mengisyaratkan saya harus pulang yang sebenar-benarnya.

Harusnya saya tidak mengurusi segala yang bukan urusan saya, harusnya saya pergi mengemasi apa-apa yang tersisa (jika ada) sesegeranya. Mumpung luka masih sedikit terbuka. Tapi apa daya, mungkin karena saya manusia dan bukan dewa. Segalanya terasa harus saya ketahui untuk jaga-jaga. Ah, seharusnya saya berpegang pada. "Tidak tahu itu anugerah." Seharusnya begitu agar saya tidak sakit-sakit melulu.

Saya terlahir tanpa pelindung sehingga trauma yang sedemikian rupa bebas sesukanya menghampiri masa kecil saya, menjadikan trauma adalah bagian yang paling saya ingat di antara kenangan lainnya. Bagaimana rasanya diabaikan, bagaimana rasanya tidak diinginkan, bagaimana rasanya sendirian, bagaimana menjadi seorang kesepian. Saya terlahir begitu saja untuk menghadapi semua rasa-rasa itu. Hingga saat ini rasanya tetap sakit, tapi biasa saja. Paling, kadang-kadang membuatmu ingin pergi jauh sekali. Sampai tidak usah kembali lagi.

Sepanjang hidup kemudian saya mencari pelindung, sialnya saya tidak (dan tidak boleh) untuk mudah percaya kepada kandidat-kandidat pelindung itu. Karena, jika bukan pelindung, ia adalah pecundang yang akan membangunkan setiap trauma yang saya kubur rapi-rapi dan saya hiasi dengan "senyuman tidak apa-apa." Sejauh ini saya meninggalkan satu atau dua pelindung dan berbaur dengan banyak pecundang. Tapi, saya hanya bisa mengurusi hati sendiri. Tidak berhak mengatur-atur para pecundang sekalipun mereka menyakiti saya. Jadi saya diam-diam dan menyepi, kalau-kalau sakitnya ini bisa pergi. Untungnya, setiap kali, saya masih bisa berkawan sebentar-sebentar, bertemu sebentar-sebentar dengan The Fools. Mereka seperti saya, naif dan polos. Sama-sama percaya pada pecundang dan menganggap beberapa pecundang adalah pelindung.

Akhirnya, hari ini saya sadar dan benar-benar sadar harus berhenti mencari. Tidak ada seorang pelindung pun yang saya miliki. Jika beruntung, sesekali saya bisa meminjam pelindung dari sesama The Fools, tapi tidak selamanya karena kebahagiaan hanya meminjamkan. Saya sama sekali tidak boleh bersandar pada apapun sembarangan, karena nyatanya saya tidak punya pelindung. Pelindung-pelindung yang dikirimkan Tuhan tidak menganggap saya ada. Jika mereka melihat bahwa saya ada, maka saya adalah sesuatu yang harus dibersihkan.

Oia, saya masih memercayai Tuhan. Tapi saya bukan wounded healer, saya tidak akan menyembuhkan siapapun jika luka saya tidak pernah sembuh. Atau saya bisa tetap mempunyai luka dan menyembuhkan, namun harus lebih banyak berkorban. Di saat bayangan-bayangan menyakitkan itu datang, saya yang sendirian tidak bisa apa-apa. Hanya berharap Tuhan sudi memeluk, karena hanya Dia satu-satunya tempat untukku pulang.

-regards, PuteriHujan-

#16052016. 00:15 AM

Minggu, 25 Januari 2015

H U M A N (S)

Lama sudah tak menulis lagi. Semenjak masuk pascasarjana waktu memang tersita sekali. Hidup pun berubah seiring mimpi. Tapi, saya tetap jadi orang yang sama hanya berusaha lebih baik setiap kali. Berapapun manusia yang telah saya temui, rasa-rasanya tak akan saya jadi mereka. Ah, lebih baik jadi diri sendiri yang upgrade setiap kali.

Jadi...kuliah saya sudah mulai sejak September tahun kemarin. Awalnya saya enggan sekali kuliah karena: 1.Bukan kampus impian saya; 2.Sebagai orang Bandung, cuma saya yang almamater kampusnya bukan di Bandung, malas menjelaskan kepada mereka-mereka setiap kali bertanya darimana; 3.Bertemu orang baru bukan hal favorit saya.

Singkat cerita, kuliahlah saya dengan pertimbangan uang bayaran yang sudah diserahkan. Meskipun jurusannya klinis, saya kan orangnya industrial banget, sejak S1 ancang-ancang ke PIO, lulusnya kerja di perusahaan besar dan bonafide, punya usaha sendiri, dsb. Tapi mungkin inilah jodoh. Meskipun mimpi saya untuk jadi pengusaha belum padam juga. Apapun jurusannya, lulusnya tetap jadi pengusaha, begitu moto saya.

Kuliah di pascasarjana ini membuat saya harus bertindak semakin dewasa. Apalagi karena berhadapan dengan para calon psikolog semua. Bertindak dewasa itu bukan memakai topeng dan berpura-pura bahwa semua baik-baik saja, dewasa itu bagaimana kita bisa bersikap sesuai waktunya, bagaimana menyampaikan emosi yang kita rasa tanpa menyakiti manusia yang lainnya. Ah, iya manusia...

Saya bertemu macam-macam manusia sejak masuk pascasarjana. Dari teman sekelas sampai mereka yang harus dijadikan OP, dari dosen sampai mamang-mamang tukang jualan. Banyak sekali orang baru yang ada dalam rutinitas saya lima bulan belakangan ini. Macam-macam rupa, macam-macam jiwa. Memilih-milih teman yang selama ini ada di kamus hidup saya tiba-tiba tidak bisa terpakai begitu saja. Tapi, saya tetap pada pendirian bahwa kita harus memilih orang-orang yang masuk dalam kehidupan kita, mereka yang hebat-menghebatkan-dihebatkan. Hubungan harus ada timbal-balik seperti itu.

Kebiasaan saya adalah berteman dengan manusia-manusia yang dijauhi, dianggap menyebalkan, atau punya cap buruk pada masa lalunya. Iya, mereka yang tidak hebat, tapi mungkin bisa menghebatkan dan dihebatkan. Sesekali saya tergoda dengan beberapa manusia yang terlihat hebat, meski nyatanya tak selalu hebat atau bisa menghebatkan. Lantas baru saya sadari, dari manusia-manusia yang dianggap tidak hebat itu beberapa di antaranya memang begitu. Maksudnya, sebenarnya bukan mereka tidak hebat, tapi cara mereka menghebatkan dirinya adalah dengan menjatuhkan orang lain. Menjatuhkan orang lain bukan hal hebat untuk dilakukan.

Untungnya (orang Indonesia selalu mengambil "untung" (baca: hikmah) dari setiap masalah), karena belajar psikologi klinis, punya banyak teman yang lebih tua, punya teman-teman curhat yang IQ-nya tidak melati sehingga setiap kali saya berkeluh-kesah saya diajari bagaimana menghadapi, bukan melampiaskan emosi (makasih), saya menjadi tahu apa yang harus saya lakukan kepada manusia-manusia yang dianggap tidak hebat itu. Menjauhinya jelas pilihan utama mereka yang awam soal psikologi atau ajaran agama tentang silaturahmi. Jadi saya tidak menjauhi, sebesar apapun rasa tidak suka dan sakit hati kepada mereka. Manusia-manusia seperti itu tidak perlu dijauhi, sudah banyak orang yang menjauhi mereka, saya tidak perlu jadi salah satunya.

Lantas, bagaimana ? Untuk hal ini saya menggunakan reaksi formasi, yaitu memunculkan sikap yang berlawanan dengan emosi. Jadi ketika tidak suka bersikaplah baik, lebih baik lagi kepada mereka. Reaksi formasi ini bukan bersikap munafik ya, yang hanya baik di depan manusia-manusia tidak hebat itu. Tapi, harus tetap baik, selalu baik, di depan mereka, di belakang mereka, bahkan ketika ada orang-orang yang membenci mereka. Karena balas dendam terbaik adalah bersikap penuh kasih sayang kepada mereka yang bersikap buruk dengan kita. Kita belajar dewasa, mereka menghebatkan diri kita dengan menjatuhkan diri mereka, tapi kita berusaha menghebatkan mereka. Tuh, keren banget kan. Susah sih, sangat susah, apalagi karena cap buruk yang melekat pada mereka bukan tanpa alasan, mereka pasti keras kepala dengan perlakuan buruknya kepada orang lain. Tapi, setiap kebaikan ada jalannya. :)

Sayang sekali, tidak semua manusia tidak hebat bisa diatasi dengan reaksi formasi. Ketika sikapnya melunjak, tentu kita harus ambil langkah lainnya. Jaga jarak. Tetap bersikap baik tapi jaga jarak. Pelajari kapan harus bersikap baik, kapan harus menjaga jarak. Untuk versi asertif-nya, kita bisa bicara langsung kepada yang bersangkutan empat mata atau pakai mediator atau pakai alat perekam. Kenapa ? Karena mereka dikenal "naik dengan menjatuhkan yang lain", untuk jaga-jaga agar bicara kita tidak dijungkirbalikkan faktanya. 

Manusia-manusia tidak hebat lambat berubah menjadi lebih baik karena mereka keras kepala, bahwa yang mereka lakukan adalah benar, sementara orang-orang lain yang tidak menanggapi, tidak serupa adalah salah. Manusia-manusia tidak hebat cenderung berpandangan negatif kepada hampir setiap orang, selalu ada yang salah dari orang-orang di sekitarnya. Untuk itu, jika kita bersama seseorang yang hampir selalu bicara tentang keburukan orang lain tanpa tedeng aling-aling meski kesalahan orang itu sama sekali tak merugikan dia, maybe dia adalah manusia tidak hebat. Manusia tidak hebat selalu menghebatkan dirinya di depan orang lain dengan cara menjatuhkan orang lain, ketika keadaannya berbalik, mereka akan bersikap seolah korban situasi. Singkatnya, mereka manipulatif dan kadang-kadang agresif.

Untuk sementara, karena Minggu menjelang siang, itu dulu sekilas tentang segolongan manusia yang sempat saya temui lima bulan belakangan ini. Lain waktu diceritakan lebih lengkap lagi. ;)

"Naiklah tanpa menjatuhkan orang lain", socmed copasted

-regards, PuteriHujan-

#25152015. 6:53 AM

Minggu, 18 Mei 2014

My LIfeLong Dream (part 3-finish)

Tanggal 18 Mei adalah hari penentuan. Penentuan usaha capek-capek kemaren. Jam 12 teng biasanya sudah bisa dilihat. saya lihat Subuh kalau tidak salah. Saya masukkan semua nomor ujian peserta mapro PIO, dari nomor 1-48 (tentunya saya yang terakhir. Seluruh teman yang saya kenal tidak lolos, tambah deg-degan aja. Eh tapi, peserta yang diwawancara sampai menangis sebelum giliran saya, dia lolos, yang sesudah saya pun lolos. Saya...? Tidak.
Maaf yang itu lagi... lagi, lagi.

Lumayan sedih rasanya melihat usaha capek-capek dan lapar-lapar itu jadi angin, fiuh. Meskipun gelagat tidak diterima udah ada sejak liat para penguji. Kemampuan saya dari S1 memang belum sampai sana. Kalau dua orang almamater yang saya nilai hebat saja tidak lolos, bagaimana saya, yang belum hebat? Kecewa sih tidak, ngan lebar acisna euy sajutaeun, mun daptar deui dua jutaeun. Jadinya malah bingung. Lantas apa yang akan saya lakukan selanjutnya ?

Menunggu jodoh sama impian saya, sambil terus berusaha, bikin rekomendasi ke Jogja, wawancara ke Depok. Atau daftar univ yang pasti lulus, padahal saya berharap sebisa mungkin saya jangan kuliah di sana. Yaa, itulah. JODOH. Mungkin Tuhan suruh saya membaca pertanda, seharusnya saya masuk PKA saja. Niatan awal mengapa saya kuliah psikologi ada di sana, di PKA (kalau mentok boleh deh PKD, atau forensik). Kemarin itu saya hampir mendaftar PKA, cuma bimbang. Bukan masalah tidak suka materi, justru saya lebih suka yang klinis daripada pio begitu. Meskipun skripsi saya pio.

Saya takut sama anak-anak. Yap, kalau ada orang takut sama kucing (makhluk kecil paling cantik sedunia -menurut saya-), saya takut pada anak manusia. Usia-nya dari 1-9tahunan. Entahlah, saya takut saja, bingung emangnya harus ngapain sama anak kecil. Sebel kalau ada anak kecil yang super bandel. Ugh. Mungkin setiap melihat anak kecil akan membangkitkan trauma saya, ingat apa-apa yang terjadi sewaktu saya kecil sehingga saya ngotot jadi psikolog. Saya ingin "balas dendam" dengan cara yang benar. Tapi, saya takut anak kecil. Sedangkan PKA, kliennya sudah pasti anak kecil. Kalau tidak bisa meladeni anak kecil, pasti terhambat deh tuh, tugas-tugas. Seumur hidup saya tidak pernah menggendong anak kecil pun. Bicara sama balita saja cuma sama sepupu. Jadi, apa yang saya takutkan itu adalah jodoh saya ?

Lagi-lagi JODOH. Tuhan sebaiknya jangan mengirimkan pertanda, karena otak saya lemot membaca pertanda. Saya lebih memilih dipilihkan, saya juga bingung bagaimana mungkin bisa Tuhan langsung memilihkan tanpa mengirimkan pertanda. Saya melamar kerja, tak ada yang jodoh. Emm, ada sih, PTI seleksi masih berlangsung (mengharap saja karena belum ada pemberitahuan siapa yang lolos). Kuliah pun saya pilih impian, belum direstui. Rasanya sedih, bukan karena tidak lolos dari satupun yang sedang diusahakan. Sedih karena sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, lambat membaca pertanda.

Target menikah saya (paling telat) usia 27 tahun. Tapi masa, saya harus nganggur sambil mencari imam saya ? Kecuali saya nikah besok, mungkin jodoh-jodoh yang lain tak harus sedih bagaimananya, karena rupanya begini. Tapi tidak mungkin menikah semudah itu, yang entah langsung ketemu nikah (ngeri, saya phobia orang asing). Saya bingung mengusahakan jodoh saya di perusahaan atau institusi pendidikan. Mungkin usaha saya kurang keras dalam berusaha menemukan jodoh-jodoh itu. Mungkin hidup saya masih terkungkung ini-itu.

Akhirnya saya memutuskan jeda, setelah leha-leha 8bulan pasca wisuda, sisa bulannya kelabakan lamar-lamar para jodoh sana-sini. Jeda sampai tanggal 27-28 Mei ini. Untuk refreshing sih, karena janjian traveling. Mungkin diperjalanan dan pertemuan dengan teman-teman, saya jadi bisa berpikir jernih, lebih jernih. Mungkin Tuhan sedang menyiapkan jodoh terbaik buat saya, jadi saya harus menyiapkan diri, entah jodoh mana duluan yang menghampiri. Semoga Tuhan tidak lagi mengirimkan pertanda karena tahu hamba-Nya yang satu ini lemot sekali membaca pertanda. Semoga Tuhan langsung menunjuk, kejadian-kejadiannya accidental, kebetulan, tiba-tiba. Tak apalah untuk kali ini biar hidup jadi kejutan. Doakan saya ya !

*p.s. dear, Tuhan Sayang, hamba-Mu ini, bingung harus apa.

-regards, PuteriHujan-
18052014. 07:33PM

are not


Ini harinya, patah hati. Setelah kejengkelan setiap jengkal jari. Jauh dari dugaan, meskipun sudah ditakutkan. Kata "maaf" itu terpampang lagi. :(

Entah kenapa rasanya tak percaya saja. Sepertinya semua payah sudah diupaya. Tuhan, Sayang, seperti apa selanjutnya ? Hamba-Mu ini gelap pandangan, tak tahu lagi ke mana berjalan, lelah ditekan, segan tertatih sendirian.

Tuhan pasti punya rencana yang sangat baik, jauuuh lebih baik. Cuma Tuhan, rasa sakit dalam perjalanannya tolong dibuat mati rasa. Bosan dengan rasa sakit yang sama, itu-itu juga, seperempat abad lamanya.

Terselip lega di antara kecewa, kecewa yang tidak sakit. Mungkin karena kekecewaan lain membius sakitnya lebih dulu.

Tuhan Sayang, perhatikan orang-orang yang tidak mampu kuperhatikan dan meminta perhatianku. Berikan mereka orang-orang yang menjaga mereka. Sedang hamba, cukup Engkau. Cuma Tuhanku Sayang, tak apa. Satu saja. Biar jiwa utuh di antara luruh lukanya.

Terima kasih Tuhan, untuk semua anugerah dan belajar yang Kau berikan. Mohon kesempatan, hamba ingin keluar dari sini. Lelahnya hati. Pada-Mu Tuhan, kutitipkan hati. Tak apa koyak disakiti, asal hamba masih punya diri. Asal Engkau masih menemani.

Selamat tidur, Tuhan. Berikan impian yang tak terbangunkan. Biar lupa semua luka ingatan. Aamiin.

#18052014. 4:01 AM

Sabtu, 03 Mei 2014

My LifeLong Dream (part 2)

Tanggal 30 April kemarin saya menutup bulan dengan macet-macetan di  jalan dari Jakarta menuju Bandung.  Lagi-lagi Jakarta, ada apa rupanya. Seperti biasa, di Jakarta itu saya menumpang tidur. Urusan sebenarnya lagi-lagi (alhamdulillah) di Depok. Tanggal 25 April malam, saya kebetulan sedang melihat site fakultas tujuan. Ada pengumuman peserta lolos tahap 1 (ujian TPA ~yang sulit sekali dan bahasa Inggris). Alhamdulillah, Tuhan Maha Baik, saya lolos bersama 47 peserta ujian profesi PIO.

pengumuman tahap 1
Rasanya, selain bersyukur, saya sekaligus tidak percaya. Besar benar kuasa Tuhan ya, saya yang merasa bukan siapa-siapa dan rendah diri karena lulusan kampus swasta (yang ketika disebut namanya orang juga tak tahu tentangnya) bisa lolos seleksi bersama almamater dari sekolah-sekolah keren. (saya baru tahu ketika melihat daftar absen). Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah, Allahku. :)

Kemudian, ditetapkan hari Selasa, tanggal 29 April, saya harus ikut ujian tahap 2 (psikotes, fgd, wawancara). Lebih mirip tes kerja tahap dua memang ya, karena selain profesi, tesnya hanya berupa tes tulis. Selain itu, saya juga harus melengkapi syarat-syarat berkas untuk dikumpulkan, dan... surat rekomendasi!!! Padahal, sebelum mendaftar saya sempat bertanya ke pmb, apakah ada surat rekomendasi.  Jawabannya sih, tidak ada, karena hanya dibutuhkan untuk mereka yang S3 (doktor). Jadi, fix saya kaget dan lemas. Karena kampus di Jogja, saya di Bandung, ujian di Depok. Waw.

Berterima kasihlah kepada teknologi, pertama-tama, karena rupanya surat rekomendasi boleh berupa scan. (tapi saya tetap tak mengerti bagaimana agar amplopnya di ttd, tokh sudah tidak rahasia karena scan, kan, jadinya saya tak pakai amplop yg ditandatangai :( ). Selanjutnya, terimakasih kepada yang mau repot memohonkan surat rekomendasi sebagai perpanjangan tangan saya; makasih Sayang. Terakhir, penting... terima kasih kepada empunya tandatangan dan pemberi rekomendasi yang mau saya rusuh-rusuh. :)

Surat rekomendasi saya baru jadi hari Minggu, sementara saya masih bingung akan berangkat hari apa, menginap di mana. Akhirnya saya berangkat bareng papa (fyi, ayah saya kerja di Jakarta dan mengontrak di sana). Di Jakarta saya menginap di kontrakan bareng-barengnya papa dengan teman kantornya. Baiknya, papa juga meminjamkan mobil (yang padahal harusnya dipakai ke kantor, beliau malah naik taksi, makasih papa!) dan bahkan mendatangkan supir Bandung untuk antar saya selama ujian (karena supir kantor kan "pamali" kalo dipinjam semena-mena). Walaupun akhirnya hari kedua saya diantar supir kantor papa, karena supir Bandungnya sukses membawa saya keliling separuh Jakarta di hari pertama, NYASAR! But, thanks to GPS.

Ujian hari pertama di mulai hari Selasa, jam 8. Lumayan siang ya, tapi karena alasan MACET, sya tetap mandi jam setengah lima dan sudah berangkat jam setengah enam... dan dengan sukses sampai jam setengah tujuh. haha. Akhirnya nunggu di mobil dan jam setengah delapan baru naik ke tempat tes. Di sana sudah banyak orang rupanya. Sempat berkenalan dengan beberapa orang. Dua orang di antaranya, jadi nempel terus selama tes, karena ternyata kami sama-sama PIO.

Ujian pertama ini, seluruh peminatan berbarengan, meskipun secara duduk sudah dikelompokkan. Tesnya gampang karena bukan jawaban benar salah, tapi psikotes. Tes gambar, isi data diri, kuesioner, tes-tes kepribadian. Selesai itu, bikin SUNGAI KEHIDUPAN (yang sempat riweuh juga karena bingung gimana cara penulisannya.haha). Baru jadwal wawancara diumumkan. Ternyata PIO dapat jadwal esok hari. Sempat kecewa sih, karena kan sudah berharap prosesnya sehari saja.

(lalu saya pulang dan nyasar berkeliling separuh Jakarta, memutari tugu tani beberapa kali, mungkin kalo lebih sering lagi bakal dapat cangkul)

Ujian hari kedua bikin deg-degan. Karena dalam pengumuman kami dibagi beberapa kelompok yang terdiri dari 9-10 orang dengan 2 psikolog. Pengumumannya cuma bilang wawancara. Ternyata, pas di tempat ujian, kami juga fgd di ruang dosen (jadi dejavu bimbingan skripsi bebarengan). Fgd berlima-berlima, berarti kami yang 10 orang ini dibagi lagi dua kelompok. Saya dapat kelompok fgd pertama. Berlangsung cepat karena ada dua anak UI di kelompok saya. Memangnya kenapa? Anak UI itu leadershipnya BAGUS BANGET. Mereka berdua bisa membuat semua punya kesempatan bicara dan menghentikan yang kebanyakan bicara (karena memangkas waktu pembicara lain). Makasih dan keren.

Setelah dua kelompok dari kelompok 10 orang fgd, lalu wawancara. Wawancara di kelompok saya berjalan sangaaaaat lambat karena jeda dari tiap peserta bisa 15-30 menit sendiri. Sementara kelompok lain begitu ada yang keluar yang lain langsung masuk. Tapi, terima kasih buat Disna dan Nurul yang mau menemani saya sampai saya selesai wawancara (semoga kita bertemu saat daftar ulang ya, aameen).

Menunggu saja sudah bikin gugup, belum lagi cerita-cerita peserta yang macam-macam setelah selesai wawancara. Ada yang dipojokkan, ada yang ditanyai materi, ada yang ditanyai skripsi, ada yang dibandingkan kecerdasannya dengan almamater. Macam-macam. Terakhir, yang bikin jantung lumayan melorot, peserta sebelum saya menangis keluar dari ruang wawancara. Aaak. Tapi saya kuatkan hati. Ah, emang mau diomongin kaya apa sih sampai nangis begitu. Pasti ngga ada yang lebih galak dari mama saya. Haha.

Di dalam adem (karena ada AC). Saya yang sulit senyum ini, pasang muka full senyum padahal sudah lusuh, lapar, dan mengantuk. Pertanyaan yang keluar standar, sama kaya wawancara psikolog kerja. Cuma di sini saya kebagian ditanya materi dan skripsi (yang sudah saya lupa) juga. Untungnya skripsi bikin sendiri dari A-Znya, jadi minimal ingat garis besarnya. Pewawancaranya ada yang Doktor, jiper banget pas tahu akan diwawancarai beliau. Tapi, bagaimanapun, alhamdulillah lancar sampai keluar ruangan.

Well, meskipun saya tidak tahu apa hasilnya kelak. Tapi semoga semua usaha saya dan doa-doa saya direstui Allah. Saya tahu Allah Maha Baik dan Maha Pemberi. Semoga Allah memberi restu saya melanjutkan study di kampus imipian saya ini. Semoga doa-doa mereka yang diam-diam mendoakan diijabah. Semoga, bulan September  tahun ini, saya sudah bisa ikut kuliah di kampus yang saya impi-impikan. Aameen.

Manusia  berusaha. Manusia berdoa. Allah yang merestui. :)

-regards, PuteriHujan-

#03052014. 12:05 AM

Senin, 21 April 2014

Happy Kartini's Day, Indonesian Women. :)


21 April. (sebentarlagiharijadi) Dikenal sebagai hari Kartini, harinya emansipasi wanita, harinya kesetaraan gender, harinya wanita. Well, selamat hari Kartini, Wanita Indonesia. :) Apakabarnya emansipasi hari ini?

Seluruh tulisan ini, pure opini saya. *catat*

Sebenarnya, dalam Islam sudah tidak perlu emansipasi. Kenapa? Karena wanita itu lebih mulia dan dimuliakan Tuhan. Bahkan ada satu surat khusus dalam Al-Quran untuk membahas wanita. Kartini ingin emansipasi karena budayanya yang mengekang kebebasan wanita. Melarang wanita menuntut ilmu. Maka jangan campurkan budaya dan agama (tapi itu tidak mudah, samasekali).

Wanita, hakikatnya menjadi ibu, mengurus rumah tangga, sekaligus jadi manager rumah tangga. Oleh karena itu, wanita justru harus pintar, sekolah setinggi-tingginya agar dapat mendidik anak-anaknya dengan baik. Boleh bekerja, tapi tetap harus ingat role utamanya adalah jadi seorang ibu. Toh, hari gini, kerja itu ngga mesti di kantor, berangkat pagi, pulang malam, 'kan?. :) Kalau istrinya kerja mati-matian, lah terus suaminya rolenya apa? Suami itu tulang punggung keluarga, kan?

Oke, mungkin semalam saya terlalu terinspirasi setelah nonton MTGW. Sebenarnya ngga juga, habis ucapan-ucapan Pak Mario itu familiar sih, sering lihat dikutipan Al-Quran dan Al Hadist. Banyak yang kontra juga tentunya soal bahasan semalam. Karena Pak Mario bilang bahwa wanita itu harus di rumah, mempercantik diri, mengurus anak dan rumah tangga. Hmm.

Saya justru heran, kok wanita ribut-ribut menyetarakan gender? Karena sejak awal kan memang tidak setara, wanita dimuliakan, diratukan. Lelaki lah yang punya peran untuk susah payah bekerja. Lelaki bekerja itu, penghasilannya milik anak-istrinya loh ya, bukan karena dia bekerja terus istri ngga dapat apa-apa. ASI saja harus dibayar, dengan penghidupan yang layak buat wanita dan anak-anaknya. Lelaki yang bertanggung jawab, pasti enggan makan uang istri (malu dong, masa disuapi perempuan).

Well, sebenarnya, ini uneg-uneg kemirisan saya melihat sekitar. Saya hidup antara beberapa budaya, Banjar, Sunda, dan Jawa. Untuk saya pribadi, saya memilih budaya Banjar karena (sepertinya) lebih memuliakan perempuan, ya karena beberapa adatnya mengikuti ajaran Islam. Dari beberapa pengalaman, ngobrol sana-sini, saya melihat begitu.

Mula-mula urusan pernikahan. Mama saya menikah pakai adat Banjar dan 100% yang bayar a-z itu ya pihak lelaki. Saya pernah tanya sama teman yang orang Sunda, ternyata katanya kalau nikah itu lelaki hanya kasih mahar (fyi, mahar pulau Jawa itu terendah se-Indonesia, dr survey). Sisanya perempuan yang urus. Menurut saya, kalau ngga mampu ya walimahnya ngga usah mewah, bagi kotakan saja, daripada wanita yang tekor. *ngga habis pikir kalau wanita yang jd tulang punggung sejak pernikahan*. Sedang di Jawa, yang pernah saya tahu, kalau mau menikahkan anak perempuan, maka orang tua perempuan yang akan repot mencari biaya. *kayanya ngga semua, semoga gak semua*.

Tapi, sepertinya untuk mereka-mereka yang lebih merasa modern dan mandiri, uang pernikahan dibagi dua, dari pihak wanita dan lelaki. Sebenarnya, ya kalaupun menikah saya ngga keberatan membiayai pesta pernikahan sendiri, demi perfeksionisnya saya. Demi kepengenannya orang tua saya juga. 

*back to topic*

Di luar menyoal pernikahan, wanita Indonesia kadang dirugikan dalam hal berumah tangga. Entah karena budaya atau miskin pengetahuan. Banyak tetangga saya yang justru hidup dari keringat istrinya, tapi kekuasaan tetap milik lelaki. Istri tidak punya suara, harus manut suami, apapun itu. Istri bekerja, mengurus anak, mengurus rumah tangga, melayani suami. Sementara apa yang dilakukan lelakinya ? Hanya Tuhan yang tahu.

Istri memang harus patuh sama suami, dalam kebenaran. Kalau suaminya menyimpang ya diingatkan bukan diiyakan. Tapi lagi, karena budaya Indonesia yang cenderung patriarki dan ewuh pakewuh, mana berani, jarang ada yang berani.

Saya tidak benci lelaki. Saya tidak suka lelaki yang tidak bertanggung jawab. Saya miris liat istri banting tulang sementara suami ongkang-ongkang kaki. Tapi, masih banyak lelaki Indonesia (yang saya kenalpun) yang bertanggung jawab dan tahu tanggung jawabnya setelah pernikahan kelak. Banyak lelaki Indonesia yang mengerti agama dan tidak menyampurbaurkan sama penyimpangan budaya. Masih banyak, tenang saja.

Dan tidak semua lelaki yang begitu. Wanita pun, sebagai Kartini modern, terkadang melupakan kodratnya sebagai ibu, sebagai istri. Bekerja pagi-malam, anak dititip. Banyak perempuan yang seperti Srikandi, sekarang ini. Seperti lelaki. *fyi, Srikandi itu waria*

Jadi, Kartini Indonesia, tetaplah pada kodrat, tapi jangan lupa bahwa harus berpendidikan tinggi, boleh berpenghasilan sendiri, asal jangan lupa urus anak-suami. Dan para lelaki, dampingi Kartini, bimbing kepada kebaikan keluarga dan diri, sayangi Kartini (dan anak-anak kalian). Wanita tidak perlu emansipasi, jika wanita dan lelaki masing-masing sadar role-nya secara individu, sosial, dalam keluarga. :)

Selamat hari Kartini, sekali lagi. 

-regards, PuteriHujan-
#21042014. 08:24 AM

Senin, 14 April 2014

My LifeLong Dream (part 1)

Baru saja kemarin saya balik dari Jakarta. Umm, sebenarnya ke Jakartanya cuma numpang tidur untuk urusan ke Depok. Ada apa dengan Depok ? :) Ada impian seumur hidup saya, UI. Jadi, kemarin Minggu itu saya ada ujian masuk pasca sarjana di UI. Setelah tahun 2007 gagal masuk UI lewat SNMPTN, tahun 2009 belum diterima lagi lewat UMB (saat itu saya proses pindah kuliah dari UnPar-Bandung). Susah ya masuk UI, susah banget. Apalagi saya ngga pernah ikut SIMAK, karena waktu itu orang tua saya tidak mengizinkan saya kuliah Psikologi, apalagi di luar Bandung. Tapi tokh, akhirnya saya ke Jogja dan kuliah S1 Psikologi.

Yah, singkat cerita, ceritanya saya pantang menyerah (padahal rasa-rasanya usaha saya begitu doang), SIMAK UI tahun ini saya ikutan, pakai diantar papa-mama lagi ke Depoknya, haha! (coba dari dulu ya). Meskipun telat satu tahun, karena saya lulus April 2013 dan ngga ikutan SIMAK 2013 karena masih tertahan di Jogja saat itu, dan pas mau daftar, kelewatan tanggal, belum bayar (padahal sudah verifikasi). Alhamdulillah, tahun ini bisa ikutan dan yakin mau pilih prodi apa. Sebelumnya sempet bingung antara PIO sama PKA. Kok  jauh banget ? Ya, nanti aja dibahasnya.

Kuliah di Depok itu cita-cita saya dari SD (kelas 5). Sementara jadi Psikolog itu cita-cita dari kelas 3. Tapi tertahan karena saya dulu tidak diperbolehkan kuliah di luar Bandung, sedangkan kampus negeri Bandung psikologi harus IPA, jurusan saya waktu SMA IPS dan saya ngga mau ambil IPC. *pusing banget harus belajar kimia, jurnal aja it's enough* Jadi, karena itu saya "nyasar" ke jurusan manajemen di kampus swasta katolik. Sebenarnya diterima juga di kampus swasta dengan jurusan psikologi, tapi entah kenapa ngga saya ambil. Mungkin karena kurang sreg waktu itu.*tp mau daftar lagi buat cadangan pasca sarjana kali ini -__-"

kartu peserta :)

Tanggal 12 saya berangkat ke Jakarta (lewat Depok sekalian cek lokasi). Saya belum pernah ke UI, cuma pernah ke Depoknya aja. Ternyata UI memang sangat luas sekali dan hutannya itu loh, udah mirip kaya hutan samping jalan tol, rimbun banget. Sebenarnya saya takut petir dan Depok sebagai daerah petir nomor satu dunia(?) ngga bikin semangat saya hilang buat masuk UI (walaupun ya kemaren-kemaren kepikiran BANGET).

Di fakultas Psikologinya, saya disambut 2 ekor kucing. Karena saya pecinta kucing, mama saya langsung aja nyeletuk, "Wah, disambut sama kucing, kayanya masuk." *dalam hati: AAMIIN*. Di sana saya tanya ke satpam dan diberi list nomor ujian dan ruangan. Saya dapat ruang di atas perpustakaan psikologi. Sayangnya, ternyata di ruangannya belum ditempeli nomor ujian. Tapi firasat sih duduknya di ujung (kalau ngga depan ya belakang, karena nomor ujian yg pangais bungsu di ruangan itu).

Sepanjang jalan-jalan keliling psikologi UI, ketemu Teteh-Teteh cantik terus. Terus ketemu semua orang yang ramah. Sampai mama bilang, "Kayanya kamu diterima nih. Semoga diterima. Di sini orangnya cantik-cantik banget ya."*dalam hati AAMIIN terus.

Menjelang malam saya ke Jakarta, ke kos papa. Papa kerja di Jakarta dan kost karena rumah di Bandung. Sebenarnya saya dalam kondisi kurang sehat pas berangkat untuk ujian, udah seminggu sakit batuk, tapi bukan flu. Kena wabah di komplek. Malamnya, di kost papa, batuknya malah menjadi-jadi dan ngga berhenti. Plus, malah kedatangan si bulan hari itu juga. :( Tapi malamnya dipaksakan tidur setelah minum decongestan+antihistamin, walaupun kebangun-kebangun karena batuk terus, keringetan terus. Jam 3 kebangun dan akhirnya dipakai siap-siapin barang, jam 4 mandi, setengah 5 berangkat, sampai UI kepagian. Jam setengah 6 kurang sepuluh menit, masih gelap. -_-"

Akhirnya nunggu di mobil sampai jam 6 lebih. Jam 6 lebih menuju ruangan tapi pengawasnya aja belum dateng, jadi muter-muter dulu, merenggangkan badan (dan otak?). Bukannya belajar ya, abis saya ngantuk sekali plus ngga enak badan. Jam setengah 7 siap-siap masuk ruangan dan pengawasnya baru datang + nempel no ujian. Nungguin sampe jam 7. Masuk ruangan, alhamdulillah duduk dekat pintu dan di depan. :D 

Tes pertama ituTPA, tapi pengawas nyebutnya PEKA. Saya bilang TPAnya suliiit. Mungkin karena yang tes bukan hanya untuk S2 tp juga S3 ya. TPAnya butuh perjuangan, apalagi untuk SETIAP JAWABAN SALAH -1. Harus super teliti dan hati-hati sambil tetap berpikir cepat. TPA ada 3 bagian, tiap bagian 1 buku dan punya waktu berbeda. Pertama tes verbal 30 menit (40 soal). Kedua tes kognitif, matematika 35 soal 50 menit. Memang sih soal matematikanya ngga serumit kalkulus, tapi susah juga karena waktunya sempit. Ketiga tes logika (banyak matematikanya juga), 40 menit 30 soal. Mungkin saya pusing efek ngantuk+batuk selama tes :(. Hiks, pesimis. Tapi tetap berharap.

Setelah itu, ada istirahat 45 menit. Awalnya mau jajan ke alfamart, tapi melihat antrian mengular, balik lagi, minum air putih yang bawa sendiri aja, lagian batuk terus, bingung mau makan apa. Sempet ngobrol sama peserta asal Samarinda dan asal UI (yg ini dia sambil belajar materi Bahasa Inggris, beda emang mental anak UI, hehe).

Tes Bahasa Inggrisnya TOEFL banget dikurangi listening. 90 soal 90 menit. *kayanya sih 90 soal di buku soal saya* Tes ini tanpa penalti, jadi saya jawab semua-muanya. Saya malah ngerasa Bahasa Inggrisnya lebih mudah (soalnya udah parno karena lemah di Bahasa Inggris). Tapi ada insiden, soalnya ada peserta yang ngga tahu kalau ternyata soalnya 90, dia kira cuma 60. Jadi LJKnya itu bolakbalik, dan peserta itu ngga periksa kalo dibaliknya ada lanjutan untuk pengisian. Dia bilang dia ngga isi 35 soal. .___.

But, yang menyenangkannya, walaupun saya ujian dalam keadaan sakit, ngga bisa ngerjain TPA, tapi entah kenapa seharian itu sama sekali ngga ada yang mengesalkan saya. Hebat loh, saya bisa ngga kesal di posisi sakit dan kedatangan bulan. Hari itu semuanya terasa ploooong banget. Terlepas dari susah bangetnya soal ujian masuk UI, saya masih teruuuuus berharap kalau saya bisa lolos dan lulus jadi mahasiswa pascasarjana di sana. Semoga Allah tahu kalau saya pengeeeeeeeen banget kuliah di sana. Semoga ada kesempatan, rezeki, dan kemampuan. 

AAMEEN.

-regards, PuteriHujan-

#14042014. 06:45 PM