kirimkan hujan ini ke . . .

Selasa, 28 Juli 2009

You Just Like Her...






"Kamu tahu ngga, kamu itu mirip sama mantanku pas SMP."


Kata-kata seperti itu rasanya sudah sangat tidak asing di telinga. Entah itu adalah pujian atau gombal biasa. Tapi, jika itu gombal, maka saya rasa itu adalah kesalahan telak. Mutlak. Kenapa ? Well, coba sedikit saya bahas menurut pemikiran saya yang objektif dan kadang subjektif.***

Ask yourself..
Apakah kamu suka dibandingkan? Dengan siapapun. Dengan orang tuamu yang adalah orang paling sukses sekeluarga, sedunia. Dengan saudara/i-mu yang kamu rasa lebih pintar, lebih cantik/cakep, lebih bisa mengambil hati, dan lebih segalanya. Apalagi dengan orang lain.

Saya rasa (dan saya yakin karena telah mewawancara beberapa teman), tidak seorang pun suka dibandingkan di dunia ini. Dibandingkan dengan orang lain membuat orang dibandingkan merasa... hmm, tidak menjadi dirinya. Meskipun itu dalam bentuk pujian. Karena bagaimana hebatnya dia, dia dilihat sebagai orang lain.

"Loh, dia kok ga masuk ITB kayak kakak-kakaknya ?"
- Tapi 'kan saya bukan kakak.

"Ih, dia kok gak secantik adiknya ya ?"
- Bahkan, anak kembarpun tak selalu sama.

"Senyum kamu mirip banget sama mantanku, deh.."
- jadi lo macarin gue cuma karena gue mirip mantan lo? GTH sono.

danlainlain, danlainlain.

---

Menjadi anak kembar, mungkin yang paling terasa. Karena ke manapun, masing-masing dibayangi kembarannya. Bagusnya, jika satu sama lain bisa termotivasi untuk jadi sukses. Jeleknya, jika salah satunya nge-drop terus stress.

Tapi, selain itu, karena saya adalah seorang Love Consultant, saya akan membahas contoh (di atas) yang terakhir. :D
*jujur, karena ini yang paling banyak dan sering menimpa saya dan pasien-pasien saya.

Saya cukup sangat sering sekali dibandingkan. Entah karena muka saya yang pasaran -sialan!-, begitupun nama, atau beberapa sifat. Sebenarnya, saya tidak keberatan jika dibandingkan jika.. tanpa maksud. Misalnya, "Kamu tuh sekilas kayak si Mira." dan hanya jika yang ngomong itu teman-teman saya. Yah, siapapun Mira deh, asal with no feeling. Tokh begitu banyak kemiripan di dunia.

Tapi, saya paling sangat tidak suka, kalau saya dikait-kaitkan dengan orang masa lalu. Dan atau, orang-orang yang baru datang dan spesial buat si pembanding. Sedangkan saat itu, misalnya, si pembanding sedang pe-de-ka-te atau malah parahnya, adalah pacar saya.

"Wah, kamu mirip pacarku dulu."
>> dan trus pas saya liat foto si pacarnya dulu... jauuuuuuuuuuuuuuuh banget bedanya. BODOH.

"Kalo, ngomong kayak gitu, kamu mirip si "A". " (eR did it, huh.)
>> trus saya bilang ajah, "Mau bantuan LC buat balikkan?"

"Maaf, tapi kalo ngeliat dia, aku jadi inget kamu. Soalnya kalian mirip."
>> alasan untuk selingkuh, mutusin, ngedua, yang ngga banget! dan same as number one... ternyata orang yg dimaksud ngga ada mirip-miripnya sama saya. (Ini beneran saya polling loh! Temen2 saya, bahkan orang yang gak kenal, saya suruh membandingkan foto saya dan yang katanya mirip saya.)

Intinya, dari sepanjang kurang lebar ini saya bercerita, saya tidak suka, tidak mau dan tidak berharap dibandingkan. Dan sepertinya (lagilagi mungkin saya subjektif) tidak ada orang yang suka dibandingkan. Bukannya saya tidak pernah membanding-bandingkan seseorang. I did it. Dan karena itu, saya tahu kebanyakan orang tidak suka dibandingkan.

Buat saya, dibandingkan berarti orang itu sudah men-judge saya seperti apa yang dia kira (dengan dibandingkan dengan seseorang yang menurut dia mirip dengan saya), tanpa dia tahu siapa saya sebenarnya. Dan saya tidak suka dinilai karena saya mirip seseorang. Saya ingin dilihat seperti saya. Dan ketika orang melihat, mendengar nama saya mereka ingatnya saya. Bukan orang lain yang serupa dengan saya.

Kadang-kadang saya merasa dihakimi jika dibandingkan dengan seseorang -siapapun itu-. Rasanya seperti dipaksa jadi seperti orang itu. (meskipun ga ada yang maksa sih). Saya ingin dilihat secara utuh sebagai saya, bukan orang lain ketika orang-orang sedang berbicara dengan saya. Dan menurut saya, daripada berbicara dengan saya adalah seolah-olah bicara dengan seseorang, bukankah lebih baik berbicara dengan orang yang dimaksud langsung?

And honesty, it make me ilfeel. Saya langsung ilfeel kalo saya dibandingkan ama ex- ex- ex- orang. I'm not your past and never been. Dan, voila. Hilanglah nama orang tersebut dalam list.

Saya tidak keberatan jika saya dibandingkan oleh pasien-pasien saya. Kenapa ? Karena mereka lagi terluka. Karena mungkin mereka masih ingin mengingat-ingat, meski saya sarankan, lebih baik cepat move on ;). And so, never do it. Nobody like to be compared. Lihatlah orang dari apa adanya diri mereka. Bukan ada apanya. *bingung yah?

Well, sepertinya.. Saya mesti menyudahinya tulisan ini.
*soalnya yang empunya kompi sudah menagih kompinya. :P

Senin, 20 Juli 2009

Flashback Time


Butuh waktu yang cukup lama untuk membuktikan kebenaran. Kebenaran tentang yang kau rasakan, kebenaran yang selama ini kau coba pendam, sembunyikan. Itulah mengapa butuh kesabaran ekstra untuk menunggu. Membuktikan pada hati dan dunia dan segala isinya jika kebenaran akan tersingkap lewat waktu. Tapi, Sayang, mungkin kau tak cukup sabar ketika itu. Kemudian, kebohongan dan segala palsu kau aku-aku.


“Dia memang pacarku, dulu.”


Kau bicara begitu kepada orang lain ketika mereka menanyakan tentang kau dan aku. Sebenarnya aku tak butuh pengakuanmu kepada dunia tentang siapa kita dulu. Sebenarnya aku tak peduli pengakuanmu kepada semesta tentang keberadaanku. Aku hanya ingin mendengarnya sendiri dari mulutmu, ucapmu, kata-katamu, suara khasmu, dan intonasi kejujuranmu. Meski dulu sejuta kali kau bilang begitu. Meski dahulu, tak bosan kau ingatkan aku : “Kamu, pacarku.”


Bicara lantang dengan hati berbisik itu mudah dilakukan. Karena kau tak perlu mendengarkan. Atau memedulikan hati yang berteriak menuntut kebenaran. Yang kau perlukan hanya bicara. Berkata-kata tanpa nurani ikut serta. Tak perlu peduli seberapa sakit yang kurasa. Begitu mudahnya, yah, lupakan saja.


Tapi, bolehkah sekarang aku yang memilih ? Setelah selama ini kuabai pedih-perih. Bolehkah aku bilang kalau aku tak tahu siapa dirimu ? Bolehkah aku melupakanmu seperti kau melupakanku ? Bolehkah membuangmu, seperti dulu kau membuangku ? Bolehkah kuminta jangan katakan aku mantan pacarmu jika aku bertemu kau dan dia ? Bolehkah kulakukan semua itu ? Setelah kau mencampakkanku.


Kurasa, aku boleh.


Bandung, 20 Juli 2009. 23:26

-untuk eR.

Selasa, 14 Juli 2009

It's Not Your Bussiness.


Tak ada yang tahu mengapa malam begitu sunyi belakangan ini, kecuali aku. Karena sepertinya akulah satu-satunya orang yang terjaga ketika mimpi menyelimuti bisu. Karena mungkin hanya akulah satu-satunya orang yang tersadar dari lelap buaian waktu. Tidak kamu. Tidak mereka yang tak menahu. Ini hanya aku.


Lelahku, tentu kamu tak tahu. Bagaimana aku menunggu, atau bagaimana aku terjaga di waktu tidurku. Kemudian terbangun dengan mata sesipit garis tipis. Seperti habis menangis. Dan ibuku akan bertanya, “Apa saja yang kau lakukan semalam tadi ?”. Lalu ayahku menimpali, “Buat apa anak gadis bergadang setiap hari ?”.


Padahal banyak obat telah kutenggak demi terlelap. Banyak saran kulakukan demi membuat pikiranku sedikit lebih rileks lalu jatuh dalam gelap. Tertidur, aku hanya ingin tertidur. Namun, sepertinya yang ada hanya pil-pil yang melebur, usaha-usaha untuk merileks-an diri yang membuatku semakin ingin kabur. Sia-sia, dan membuat mental juga fisikku semakin hancur.


Kadang-kadang, ketika aku sudah tertidur dengan susah payah yang terjadi malah, aku mendapati diriku sedang terduduk di atas ranjang. Terbangun dengan tatapan nyalang. Tiba-tiba tersadar dari mimpi yang harusnya dibuang. Terlalu indah, mungkin, untuk terus aku kenang. Atau bisa jadi, aku mendapati diriku di sofa depan televisi. Terbangun heran karena tiba-tiba tergigit dingin malam dan dengan pertanyaan, bagaimana bisa aku berada di sini ?


Hal lain lagi yang sering terjadi, aku tetap tertidur hingga pagi. Tapi, ditemani isak sepanjang mimpi. Yang bahkan terus mengikuti ketika aku terjaga nanti. Lalu mataku jadi sembab. Menangis yang tanpa sebab. Lalu aku harus menyembunyikan bengkak itu di balik bedak. Mungkin dengan memakai celak. Itulah mengapa, mereka semua selalu suka dengan mataku. Karena terlalu penuh hujan yang kusimpan di situ. Kadang-kadang jika tak terbendung lagi akan kubagi sedikit-sedikit dengan hati. Biar hati yang menangis, karena tak semua bisa melihatnya di dalam sini.


Iya, Sayang, aku tahu. Semua itu bukan urusanmu. Bukan aku ingin mengiba atau memohon padamu. Semua itu hanya urusanku. Kebodohan berulang yang kulakukan selalu. Membuat mereka geram, gemas, kasihan, dan kadang menghinaku. Tapi, itu juga bukan urusan mereka. Aku tak keberatan jika mereka memberi beberapa wejangan kata. Asal bukan menghina. Tak seorang pun berhak menghakimi cinta. Sekalipun aku. Walaupun kamu.


Benar, Sayang, aku mengerti. Bahwa kamu tak mau tahu lagi soal ini. Bahagialah bersama hidupmu yang sekarang ini. Karena aku hanya ingin menuliskan hati. Bukan untuk mengganggumu bermimpi. Bukan untuk menguncang duniamu yang sekarang bersamanya, seperti yang dia lakukan pada kita. Aku bahagia dengan begini, menikmati apa yang kuingini. Menjadi tanpa pretensi. Mutlak menjadi aku. Bukan manis, bukan sayang, dan bukan pula mantan pacarmu.


Jadi, Sayang, kamu bahkan tidak berhak berkeberatan. Setitik pun, secuil pun, sesedikit apapun tentang perasaan yang kusimpan. Kamu tidak berhak melarang apa yang kurasakan. Aku tidak peduli kalau kamu bilang, “Jangan menunggu !” karena aku akan tetap melakukan. Aku melakukan yang kuinginkan. Mencintai hidupku seperti yang kamu lakukan. Tetap melangkah ke depan meski sangat perlahan, yang penting aku tidak stagnan.


Dan, Sayang, jangan hakimi aku karena merindu. Jangan membenciku karena aku jujur pada diriku. Jangan melarangku mencintai, karena kamu tak berhak begitu. Jika aku mencintaimu, bukankah itu bukan urusanmu ? Seperti halnya cintamu padanya yang bukan urusanku ? Kamu bebas semaumu, melakukan apapun itu. Asal jangan mencampuri urusanku soal mencintaimu. Karena sekalipun yang kucintai itu adalah kamu, itu sama sekali bukan urusanmu.



#Bandung, 14 Juli 2009. 0:46

- di tengah insomnia akut. Setelah konsultasi bersama dokteL dan adik perempuan kesayangan. Untuk kamu, yang sepertinya kemarin itu adalah dia.


n.b.

inspired by some wise words from Michellia. And half my true story. And (again) my honesty syndrome. And last, from another stories, movies, songs, etc. I love. Gut Nite !

Minggu, 12 Juli 2009

P.S. I Love You





Ada malam-malam kesepian yang harus kau habiskan sendirian. Dan yang aku tahu, kau melakukannya sambil memandangi bulan lewat jendela flat di ketinggian. Aku tahu rasanya kesepian, tidak menyenangkan. Di mana gemerlap lampu kota berpendar indah, sedangkan kita terkurung dalam kenangan. Terkungkung oleh perasaan yang harusnya ditinggalkan. Terluka karena perpisahan.

Ada hati yang sempat kau masuki dulu. Dan kau menggoreskan cerita-cerita indah bersamanya di catatan waktu. Tapi, seperti yang kau tahu, waktu tak begitu bersahabat dengan stagnasi, waktu berlalu. Kemudian kau sedikit terluka. Mengapa kubilang sedikit saja ? Karena aku tahu kau salah satu orang yang paling kuat yang kutahu. Berdiri dan tersenyum di antara pedih hatimu, pasti kau mampu.


Lalu, kau bertemu bias warna-warni yang sempat menceriakanmu. Tak bisa disentuh, hanya ditatap karena semu. Bias yang membuatmu membunuh sisi hipokrat dalam dirimu. Keceriaan yang membuatmu memendam satu perasaan untuk kau ungkapkan dahulu. Aku tahu, kau takut terluka dan juga melukainya. Atau kau mungkin sudah terlanjur tahu bahwa bukan kau-lah yang selama ini ditunggunya ?

Dan ketika itu aku tiba, mampir di baris ceritamu. Entah bagaimana dan darimana semua bermula, aku tak tahu. Kita adalah dua orang aneh yang dipertemukan perpisahan. Dua orang yang sama-sama terluka dan saling menguatkan. Cinta kita adalah saling membahagiakan. Dan kebahagiaan kita adalah saling melihat senyuman.


Kau mungkin orang yang paling mengerti, mengapa aku menyayanginya. Kau juga jadi orang yang paling membenci ketika aku menceritakannya, padahal kataku, dia mengabaikanku. Dia mendiamkanku sekalipun aku menyapanya, tidak sepertimu. Sekalipun kau marah sekali padaku, kau akan tetap membalas senyuman di layarku. Meski saat itu kau sedang menahan cemburu, itulah yang membuatku lebih menyukaimu.

Tapi, aku benci chermistry. Aku benci mengapa kita saling menyadari. Mengapa diam-diam kita saling mencuri hati. Dan benci setiap kali aku berpikir bahwa kau-lah yang sejak dulu kucari. Dan menyayangkan mengapa dua pesan pertama kita, kita anggap sebagai pertanda. Kau adalah hadiah ulang tahunku, begitu juga sebaliknya.

Namun, aku ingin kau tahu, tak sedikit pun aku menyesal karena bertemu denganmu. Malah aku bersyukur, karena darimu aku belajar banyak untuk kehidupanku. Aku menyadari hal-hal yang sebelumnya aku lewatkan. Aku menjadi lebih dewasa dan manja dalam waktu bersamaan. Aku menjadi sosok yang lebih menyenangkan menghadapi kehilangan. Sekalipun, Sayang, itu adalah kehilanganmu.

Banyak hal yang sebenarnya kau tak tahu. Tentang pesan-pesan aneh yang kutulis di blog friendster ku (andai kau bisa baca pesan itu lagi). Bulan Desember, setelah tiga hari peritiwa risk taker itu –bolehkan kusebut begitu?- aku sudah tahu. Aku tahu bahwa kebersamaan dua orang aneh yang dipertemukan kehilangan ini hanya sementara.

Saat itu rasanya seperti kehilangan duluan. Itu alasannya, Sayang, mengapa aku selalu menangguhkan jawaban jika kau menanyakan tentang, “Kita ini sebenarnya apa ?”. Aku takut sakit, sama ketika kau takut menyakiti pelangi. Aku takut menyakiti hatiku sendiri. Aku takut terjatuh terlalu dalam. Aku takut tenggelam.

Sebenarnya, Sayang, cerita kita belum akan berakhir sampai di sana. Sebenarnya akan ada pertemuan kita yang lain, yang sebenar-benarnya. Bukan hanya kata-kata. Senyuman hampa. Suara-suara. Sekilas tatapan mata. Bukan hanya itu semua. Tapi, aku dan kau tak akan pernah tahu kapan saatnya. Dan untuk sementara ini, Tuhan memilih memisahkan pertemuan kita yang oleh perpisahan itu. Aku tak tahu rencana Tuhan, tetapi aku yakin semuanya terbaik untukku, untukmu.

Aku benar-benar tak pernah dan tak akan pernah menyesali pertemuan biasa kita. Meskipun aku dapat pertanda. Walaupun aku yakin dengan semua yang ku’baca’. Karena, andai kita tak pernah bertemu, apa jadinya ? Aku tak akan kenal beberapa sahabatku yang juga sahabatmu. Aku tak akan mampu mengungkapkan hatiku pada dia yang dulu. Aku tak akan menjadi aku yang sekarang ini. Yang mati-matian memperjuangkan mimpi.

Tapi, bolehkan aku di sini sedikit lebih lama lagi ? Bukan karena aku belum mampu beranjak, namun aku belum mau. Aku masih ingin memanjakan hatiku sedikit lagi. Itu mengapa aku menyebut mereka –yang hadir setelahmu- pelangi. Karena mereka tak akan aku miliki. Karena aku hanya ingin menatap mereka, tanpa lebih dalam masuk ke kehidupan mereka. Aku masih takut terluka atau melukai mereka. Karena itu, izinkan aku di sini. Sedikit lebih lama lagi.

(n.b. Ohya, ada satu hal lagi. Maafkan aku jika kau merasa terlalu dikejar. Karena aku baru benar-benar tahu rasanya dikejar. –kau tahu siapa yang kubicarakan, ;). Rasanya agak menyebalkan, atau benar-benar menyebalkan terkadang, namun sekaligus kasihan. –tapi, kau tak perlu mengasihaniku. Aku akan mulai berhenti menjadi menyebalkan. Karena aku tahu kita masih akan bertemu di suatu kesempatan. Pertemuan yang sebenar-benarnya.)




And P.S. I Love You as my bigbro, my bestfriend, and my panda