kirimkan hujan ini ke . . .

Rabu, 01 Juni 2011

Ewuh Pakewuh versus Hypocrite versus Assertiveness


Judul yang agak cadas, saya tahu… :)




Ewuh Pakewuh, buat yang belum tahu, itu artinya bersikap segan kepada orang untuk menjaga hubungan, untuk menjaga perasaan orang yang bersangkutan, untuk menjaga kedamaian.





“Budaya Ewuh Pakewuh yang berarti sungkan dalam batas-batas normal akan meningkatkan tali silahturami dalam suatu lingkungan, kumpulan atau organisasi. Budaya demikian merupakan cerminan budaya timur yang sangat menghargai orang lain dan tanpa bermaksud menjatuhkan apalagi mempermalukan orang lain.”- kutipan blog orang.


Tapi, namun, but… Saya rasa dan saya pikir (setelah melihat banyak fenomena tentunya) budaya Ewuh Pakewuh ini sudah terlalu kental dan mendarah daging di Indonesia, khususnya (tanpa bermaksud SARA) di kebanyakan daerah Jawa (tengah dst).




(tulisan ini hanya sekedar share tanpa bermaksud mendiskreditkan golongan atau kelompok apapun :) )




Ya, Ewuh Pakewuh sepertinya memang berasal dari kebudayaan Jawa. Orang-orang Jawa dikenal akan keramahtamahannya, akan sikap dan tuturkatanya yang selalu lembut meskipun mereka tidak suka, tapi mereka tak pernah menunjukkan terang-terangan apa yang dirasakannya. Lagi-lagi ini generalisasi, meskipun tidak semua orang Jawa (yang saya tahu) bersikap begitu.





Sebenarnya budaya Ewuh Pakewuh itu baik, karena maksudnya untuk menjaga perasaan dan jalinan silaturahmi sesama manusia. Agar hidup ayem tentrem dengan tetangga, saudara dan teman. Namun, coba tebak apa yang akan terjadi kalau sikap dan maksud baik dari Ewuh Pakewuh dilakukan berlebihan ? :)






M-U-N-A-F-I-K. Ya, MUNAFIK! Satu kata yang paling-paling-paling-paling-paling-paliiing saya benci. Meskipun (jujur) saya terkadang melakukannya dan menjadi lebih sering lagi ketika saya berada di Jogja ini.




Katanya, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jadi, saya putuskan untuk “belajar” bersikap Ewuh Pakewuh. Tapi rupanya saya belajar dari (kebanyakan) orang yang salah, salah kaprah tentang Ewuh Pakewuh. Jadilah, bukannya bersikap dan mempraktekkan Ewuh Pakewuh yang benar, saya malah menyerempet jadi munafik.




Contoh nyatanya sih, ketika sedang kesel banget sama orang, biasanya saya lebih memilih menghindar dari orang tersebut (karena kalau ketemu, muka saya bisa berubah jadi monster yang sangat menakutkan). Tapi, kemudian saya mempraktekkan Ewuh Pakewuh salah kaprah yang saya pelajari, saya terpaksa (terpaksa banget!) bermanis-manis muka, tutur kata, tersenyum tulus (tapi terpaksa, dan dalam hati misuh-misuh). Ya, saat itu saya merasa jadi orang munafik. Karena saya tipe orang yang : salah itu hitam dan benar itu putih. Suka ya bilang suka, ngga ya tinggalin aja!




Jika saya mengalami hal di atas ketika saya di Bandung, itu menjadi lebih mudah. Karena, saya bisa memakai istilah Wawuh Munding yang artinya ‘kenal kebo’. Lha? Hahaha, maksudnya, seperti kerbau yang saling bertemu di jalan, tersenyum tapi ngga usah sok bermanis-manis.




Mungkin, Ewuh Pakewuh memang berguna untuk menjaga hubungan silaturahmi. Tapi, menurut saya daripada saling diam dan menyimpan dendam, kenapa ngga pada saling ngomong saja sih ? Kenapa senyum-senyum tapi belakangnya tikam-tikam? Dan ujung-ujungnya, saya semakin menjadi krisis kronis kepercayaan di sini (Jogja). Saya merasa orang yang bisa saya percaya SANGAT SEDIKIT, tentunya saya percaya pada orang-orang yang tidak pakai Ewuh Pakewuh salah kaprah yang menjurus munafik. Saya tidak pernah tahu siapa yang sebenarnya mendukung siapa (saya selalu jadi pihak netral, namun menghindari orang-orang yang selalu bermasalah sama orang lain, kalau bermasalah sama satu orang, itu wajar, tapi kalau lebih tiga orang yang mempermasalahkan, hiiiy).




Saya mengalami ini dan saya kadang (sering sih) malah jadi stress sendiri. Dan sepertinya, bukan saya saja yang mengalami, ada seorang teman yang sama-sama perantau yang juga mengalami ini. Nah, intinya sih kami bingung dengan Ewuh Pakewuh (yang salah kaprah, yang berlebihan). Saya jadi menjaga jarak kepada banyak orang karena… ya, karena itu tadi. Saya tidak pernah tahu, sikap baiknya tulus atau hanya budaya Ewuh Pakewuh, atau parahnya lagi simbiosis parasitisme (mutualisme diterima lah yaaa).




Jadi, curhatan saya dengan pemikiran dangkal saya ini, sebenarnya ingin berusaha meluruskan dengan mengira-ngira. Mungkin… budaya Ewuh Pakewuh itu sebenarnya dimaksudkan untuk melatih seseorang bersikap asertif, bukan agresif. :)





Asertivitas.



“Asertif mengandung pengertian untuk mengatakan dan bertindak sesuai dengan hati nurani dan benar adanya. Hanya dua warna untuk asertif ini : Hitam atau putih. Orang yang bertingkah laku asertif, memiliki keberanian sungguh-sungguh untuk mengatakan kebenaran yang ada sekalipun ia siap untuk tidak disenangi orang lain. Ia berani mengatakan apa yang benar kepada orang lain tanpa perlu merasa ada hutang budi atas kebaikan orang lain tersebut. Bahkan ia sangat selektif menerima pemberian orang lain, jika pemberian tersebut nantinya akan menganggu idealismenya untuk menegakkan kebenaran. Orang Asertif juga mengisyaratkan penyampaian pendapat sekalipun pendapatnya tersebut sudah pasti benar. Tidak Ceplas-ceplos dan blak-blakan yang terkesan tanpa etika komunikasi.”-kutipan blog orang.



Asertif adalah :

n Mengatakan tidak

n Memulai, melanjutkan/memelihara, dan mengakhiri pembicaraan

n Minta pertolongan

n Mengekspresikan perasaan (+ dan -)

n Meralat

n Memuji, menerima pujian

n Mengekspresikan perasaan

n Menyapa

n Menyatakan ketidaksetujuan

n Menanyakan sebab

n Membicarakan tentang diri sendiri

n Melihat mata orang lain

(Lazarus dan Rathus, materi kuliah Modifikasi Perilaku)





Menurut saya pribadi (karena blog ini adalah curhatan dengan sedangkal pikiran dan seiprit keilmiahan saya) budaya Ewuh Pakewuh harusnya dimaknai dan dilakukan serta dijadikan seperti asertivitas. Kenapa ?




Asertif bukanlah bicara blak-blakan tanpa tedheng aling-aling (maaf kalo salah penulisan). Asertif adalah bagaimana mendapatkan hak kita, menyatakan keberatan, mengekspresikan emosi, dan menolak tanpa menyakiti yang bersangkutan (yang ditolak, yang tidak kita senangi). Memang sih, rasanya hampir mustahil kalau menolak atau menyatakan keberatan tapi tidak membuat yang bersangkutan tidak enak hati, tapi lebih baik begitu. Asertif itu kejujuran yang sopan. :)




Saya menulis ini, curhat tentang ini, karena saya sudah ENEG sama Ewuh Pakewuh yang salah kaprah yang diterapkan lingkungan sekitar saya. Dan ketika saya searching, malah jadinya banyak yang memandang SARA budaya yang sebenarnya bermaksud baik ini. Yah, memang sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Dan bukan hal mudah bersikap asertif di masyarakat yang sudah terlanjur menerapkan Ewuh Pakewuh yang salah kaprah (khususnya masyarakat pendidikan rendah, di daerah tempat tinggal saya di Jogja sini). Ketika bersikap asertif kita memang harus siap menerima permusuhan karena dianggap sombong. *btw, asertif dalam bahasa Inggris dapat diartikan sombong dalam bahasa Indonesia*




Ya, saya berusaha bersikap asertif namun menjaga agar tidak malah jadi agresif (jujur sih, dulu saya lebih ke agresif, ga suka yaudahlaah). Mulai dari menolak memberikan contekan (dan tentu saja banyak yang komen-komen nyakitin hati, saya tahu bahkan dengar sendiri, tapi biarlah!), mulai dari menolak menuliskan nama anggota kelompok kalau tidak mau ikut partisipasi padahal sudah diajak (disuruh malahan), mulai dari menolak terlibat kepada hal-hal yang menurut saya tidak benar atau tidak saya sukai. Ya, saya masih belajar menjadi asertif dengan keterbatasan saya yang kadang malah menjadi agresif (seringnya begitu) atau menjadi munafik. (tapi, saya lebih memilih menyerempet ke agresif, karena munafik itu dibenci dalam Islam (agama saya) ). Well, gimana dengan kamu? :)




-puterihujan




11 Juni 2011 – 22.04



ket : sumber blog http://handokotantra.com/sisi-negatif-dari-budaya-ewuh-pakewuh.html