kirimkan hujan ini ke . . .

Jumat, 02 November 2012

My Simple Life Goals

Allahumma Amiin


Beberapa waktu lalu, saya dapat e-mail dari papa. Isinya yaitu sebuah file Word yang berisikan visi-misi beliau sebelum sukses (namun sudah direvisi). Jujur saja, visi-misi papa itu sudah (terlalu) terorganisir dengan baik dan memenuhi standar SMART. Saya mencoba meng-copy namun sepertinya tidak terlalu berhasil, tidak cukup spesifik untuk dimengerti orang lain, tapi yah lumayanlah untuk dimengerti diri sendiri.


goals hidup sementara =) 

Tujuh poin yang saya tuliskan itu sebenernya simbolik,  angka tujuh favorit saya, lucky se7en. Poin pertama jelas karena saya sedang skripsi saat ini dan cukup keteteran karena kebetulan dospem bukan yang membimbing. Poin kedua, permintaan papa (dan mama). Pokoknya saya harus S2 (dan saya memilih profesi supaya setara sama PHD). Semoga dengan begitu saya bisa membanggakan mereka. VISI simpel hidup saya: BAHAGIA dan MEMBAHAGIAKAN, dan tak ada yang lebih penting dari Mama-Papa.

Poin tiga dan empat, saya harap bisa berjalan berdampingan, atau kerja sambil S2 lalu buka usaha. Meski kehidupan saya masih (insya Allah) terjamin sampai Papa pensiun enam tahun lagi, tapi saya ingin mempersiapkan diri, cari uang sendiri. Mama-Papa memberi saya kehidupan yang serba ada, sekalipun di saat keluarga kami kesulitan finansial dulu. Maka dari itu, saya tidak ingin usaha susah payah orang tua saya membahagiakan saya sia-sia. Paling tidak, Mama-Papa bisa menyicipi sedikit jerih payah saya meski mereka tokh sudah akan berkecukupan sampai tua kelak. Amien. Paling tidak, Mama-Papa bisa lihat anaknya berbahagia dan tahu kalau mereka adalah ORANG TUA yang BERHASIL.

Intermezzo sedikit, waktu kecil hidup saya sederhana. Tidak kekurangan hanya cukup. Mama jelas harus pintar-pintar mengatur pengeluaran Papa yang seadanya untuk sekolah saya dan adik saya di Sekolah Yayasan karena tahun '98 saja, SPP saya 56ribu rupiah. Mama juga selalu menjamin kalau saya dan adik lelaki saya satu-satunya makan bergizi meski Mama harus selalu Senin-Kamis atau entah puasa yang lain lagi. Papa juga begitu. Pokoknya, anak dulu baru orang tua, begitu prinsip Mama. 

Hal yang paling saya ingat adalah ketidakberadaan Papa karena harus SPJ sana-sini agar mendapat uang tambahan untuk sekolah kami, bayar kontrakan, makanan sangat bergizi untuk anaknya, dll. Mama kadang kepayahan mengurus saya dan adik yang hanya terpaut satu tahun. Tapi dari sekian pahit masa kecil saya, hari ini, saya tahu manis hasilnya.

Kedua orang tua saya tipe orang tua yang balas dendam. Balas dendam di sini artinya, mereka berusaha membalas kekecewaan masa kecil mereka kepada anak-anaknya. Sebagai contoh, Mama saya yang tidak bisa membaca huruf Hijaiyah, dendam dengan hal itu, saya dan adik saya dimasukkan TPA di usia dini. Kalau sekarang ada PAUD, mungkin PAUD saya itu di TPA. Saya lupa kapan pertama kali saya bisa mengaji, tapi pertama kali masuk sekolah (TK) saya sudah bisa menulis Arab, jadilah saya satu-satunya murid yang menulis dari sebelah kanan.

Lainnya, masih banyak. Intinya orang tua saya tidak membiarkan anaknya hidup susah seperti yang pernah mereka rasakan dulu. Karena Mama-Papa sama-sama anak yatim (yg sekarang sudah sama-sama yatimpiatu). Mama sudah tidak berayah sejak kelas dua SD, Papa bahkan tak pernah kenal ayahnya karena ayah Papa meninggal ketika Papa berusia 6 bulan dalam kandungan. Namun, biarpun begitu, meski Papa tumbuh tanpa sosok ayah, Papa sudah jadi seorang Ayah yang hebat dengan segala keterbatasan dan kelebihannya. :')

Mungkin, banyak orang yang kenal saya menilai bahwa saya tidak suka hidup susah. YA, benar. Saya tidak suka hidup susah. Em, ada yang suka memangnya? :D Saya tidak suka bukan berarti tidak mau. Saya mau kok bersusah dulu demi kesenangan. Saya tidak mau stagnan dan jaminan hidup dalam kesusahan, saya tidak betah. Saya tidak tega melihat perjuangan orang tua saya sia-sia. Saya ingin membanggakan mereka. Saya ingin melihat mereka BAHAGIA karena saya. Saya ingin mereka tahu bahwa sebesar apapun kekurangan mereka, mereka adalah dua kombinasi orang tua yang SEMPURNA.

Lanjut, poin lima dan enam. Sebenarnya saya tidak perlu susah payah (meskipun kalau ada kesempatan, saya ingin) menaikhajikan Mama dan Papa, karena mereka sudah berhaji. Papa memang manajer yang baik untuk bos seperti Mama, keduanya sama saling melengkapi. Jadi, saya hanya berharap bisa naik haji bersama mereka, sekeluarga bersama adik saya sebelum saya dan adik kelak sibuk dengan dunia dan keluarga sendiri-sendiri. Sedang rumah dan mobil, meski dengan orang tua hidup saya terjamin, saya ingin punya sendiri, seperti Papa. Saya ingin menjadi seperti Papa (dan Mama). Saya ingin jadi kolaborasi mereka berdua. Tapi saya harap, rumah saya dan rumah saya bersama Mama Papa tidak jauh-jauh, menghemat untuk mudik dan supaya saya bisa menjaga mereka, karena anak mereka cuma dua. :)

Poin tujuh dan terakhir. Jujur sih, waktu saya SMA saya anti-pernikahan. Saya percaya saja kalau tanpa menikah itu orang bisa bahagia. Saya ngeri pada pernikahan "menyeramkan" yang saya tahu. Tapi lalu, saya banyak dapat pencerahan dari teman-teman saya yang mengerti agama. Selain itu, saya tahu logika mengapa orang harus menikah, bukan hanya masalah meneruskan keturunan (walau sampai detik ini melahirkan itu masih saya anggap mengerikan karena terlanjur melihat video-video ttg itu). Dan oke, saya putuskan saya akan menikah, kelak. Dengan siapapun yang menurut Allah terbaik untuk saya dan Mama-Papa saya juga tentunya. Saya ingin siapapun yang bersama saya kelak, bisa mengimami saya seperti Papa mengimami Mama, padahal Papa tak pernah tahu seperti apa rasanya punya Ayah. :)

Semoga semua niat baik saya dicatatkan oleh ALLAH untuk membahagiakan Mama-Papa. Itu saja. =)

AMIEN

-regards, PuteriHujan-

#02112012. 10:00 PM