kirimkan hujan ini ke . . .

Senin, 21 April 2014

Happy Kartini's Day, Indonesian Women. :)


21 April. (sebentarlagiharijadi) Dikenal sebagai hari Kartini, harinya emansipasi wanita, harinya kesetaraan gender, harinya wanita. Well, selamat hari Kartini, Wanita Indonesia. :) Apakabarnya emansipasi hari ini?

Seluruh tulisan ini, pure opini saya. *catat*

Sebenarnya, dalam Islam sudah tidak perlu emansipasi. Kenapa? Karena wanita itu lebih mulia dan dimuliakan Tuhan. Bahkan ada satu surat khusus dalam Al-Quran untuk membahas wanita. Kartini ingin emansipasi karena budayanya yang mengekang kebebasan wanita. Melarang wanita menuntut ilmu. Maka jangan campurkan budaya dan agama (tapi itu tidak mudah, samasekali).

Wanita, hakikatnya menjadi ibu, mengurus rumah tangga, sekaligus jadi manager rumah tangga. Oleh karena itu, wanita justru harus pintar, sekolah setinggi-tingginya agar dapat mendidik anak-anaknya dengan baik. Boleh bekerja, tapi tetap harus ingat role utamanya adalah jadi seorang ibu. Toh, hari gini, kerja itu ngga mesti di kantor, berangkat pagi, pulang malam, 'kan?. :) Kalau istrinya kerja mati-matian, lah terus suaminya rolenya apa? Suami itu tulang punggung keluarga, kan?

Oke, mungkin semalam saya terlalu terinspirasi setelah nonton MTGW. Sebenarnya ngga juga, habis ucapan-ucapan Pak Mario itu familiar sih, sering lihat dikutipan Al-Quran dan Al Hadist. Banyak yang kontra juga tentunya soal bahasan semalam. Karena Pak Mario bilang bahwa wanita itu harus di rumah, mempercantik diri, mengurus anak dan rumah tangga. Hmm.

Saya justru heran, kok wanita ribut-ribut menyetarakan gender? Karena sejak awal kan memang tidak setara, wanita dimuliakan, diratukan. Lelaki lah yang punya peran untuk susah payah bekerja. Lelaki bekerja itu, penghasilannya milik anak-istrinya loh ya, bukan karena dia bekerja terus istri ngga dapat apa-apa. ASI saja harus dibayar, dengan penghidupan yang layak buat wanita dan anak-anaknya. Lelaki yang bertanggung jawab, pasti enggan makan uang istri (malu dong, masa disuapi perempuan).

Well, sebenarnya, ini uneg-uneg kemirisan saya melihat sekitar. Saya hidup antara beberapa budaya, Banjar, Sunda, dan Jawa. Untuk saya pribadi, saya memilih budaya Banjar karena (sepertinya) lebih memuliakan perempuan, ya karena beberapa adatnya mengikuti ajaran Islam. Dari beberapa pengalaman, ngobrol sana-sini, saya melihat begitu.

Mula-mula urusan pernikahan. Mama saya menikah pakai adat Banjar dan 100% yang bayar a-z itu ya pihak lelaki. Saya pernah tanya sama teman yang orang Sunda, ternyata katanya kalau nikah itu lelaki hanya kasih mahar (fyi, mahar pulau Jawa itu terendah se-Indonesia, dr survey). Sisanya perempuan yang urus. Menurut saya, kalau ngga mampu ya walimahnya ngga usah mewah, bagi kotakan saja, daripada wanita yang tekor. *ngga habis pikir kalau wanita yang jd tulang punggung sejak pernikahan*. Sedang di Jawa, yang pernah saya tahu, kalau mau menikahkan anak perempuan, maka orang tua perempuan yang akan repot mencari biaya. *kayanya ngga semua, semoga gak semua*.

Tapi, sepertinya untuk mereka-mereka yang lebih merasa modern dan mandiri, uang pernikahan dibagi dua, dari pihak wanita dan lelaki. Sebenarnya, ya kalaupun menikah saya ngga keberatan membiayai pesta pernikahan sendiri, demi perfeksionisnya saya. Demi kepengenannya orang tua saya juga. 

*back to topic*

Di luar menyoal pernikahan, wanita Indonesia kadang dirugikan dalam hal berumah tangga. Entah karena budaya atau miskin pengetahuan. Banyak tetangga saya yang justru hidup dari keringat istrinya, tapi kekuasaan tetap milik lelaki. Istri tidak punya suara, harus manut suami, apapun itu. Istri bekerja, mengurus anak, mengurus rumah tangga, melayani suami. Sementara apa yang dilakukan lelakinya ? Hanya Tuhan yang tahu.

Istri memang harus patuh sama suami, dalam kebenaran. Kalau suaminya menyimpang ya diingatkan bukan diiyakan. Tapi lagi, karena budaya Indonesia yang cenderung patriarki dan ewuh pakewuh, mana berani, jarang ada yang berani.

Saya tidak benci lelaki. Saya tidak suka lelaki yang tidak bertanggung jawab. Saya miris liat istri banting tulang sementara suami ongkang-ongkang kaki. Tapi, masih banyak lelaki Indonesia (yang saya kenalpun) yang bertanggung jawab dan tahu tanggung jawabnya setelah pernikahan kelak. Banyak lelaki Indonesia yang mengerti agama dan tidak menyampurbaurkan sama penyimpangan budaya. Masih banyak, tenang saja.

Dan tidak semua lelaki yang begitu. Wanita pun, sebagai Kartini modern, terkadang melupakan kodratnya sebagai ibu, sebagai istri. Bekerja pagi-malam, anak dititip. Banyak perempuan yang seperti Srikandi, sekarang ini. Seperti lelaki. *fyi, Srikandi itu waria*

Jadi, Kartini Indonesia, tetaplah pada kodrat, tapi jangan lupa bahwa harus berpendidikan tinggi, boleh berpenghasilan sendiri, asal jangan lupa urus anak-suami. Dan para lelaki, dampingi Kartini, bimbing kepada kebaikan keluarga dan diri, sayangi Kartini (dan anak-anak kalian). Wanita tidak perlu emansipasi, jika wanita dan lelaki masing-masing sadar role-nya secara individu, sosial, dalam keluarga. :)

Selamat hari Kartini, sekali lagi. 

-regards, PuteriHujan-
#21042014. 08:24 AM

Senin, 14 April 2014

My LifeLong Dream (part 1)

Baru saja kemarin saya balik dari Jakarta. Umm, sebenarnya ke Jakartanya cuma numpang tidur untuk urusan ke Depok. Ada apa dengan Depok ? :) Ada impian seumur hidup saya, UI. Jadi, kemarin Minggu itu saya ada ujian masuk pasca sarjana di UI. Setelah tahun 2007 gagal masuk UI lewat SNMPTN, tahun 2009 belum diterima lagi lewat UMB (saat itu saya proses pindah kuliah dari UnPar-Bandung). Susah ya masuk UI, susah banget. Apalagi saya ngga pernah ikut SIMAK, karena waktu itu orang tua saya tidak mengizinkan saya kuliah Psikologi, apalagi di luar Bandung. Tapi tokh, akhirnya saya ke Jogja dan kuliah S1 Psikologi.

Yah, singkat cerita, ceritanya saya pantang menyerah (padahal rasa-rasanya usaha saya begitu doang), SIMAK UI tahun ini saya ikutan, pakai diantar papa-mama lagi ke Depoknya, haha! (coba dari dulu ya). Meskipun telat satu tahun, karena saya lulus April 2013 dan ngga ikutan SIMAK 2013 karena masih tertahan di Jogja saat itu, dan pas mau daftar, kelewatan tanggal, belum bayar (padahal sudah verifikasi). Alhamdulillah, tahun ini bisa ikutan dan yakin mau pilih prodi apa. Sebelumnya sempet bingung antara PIO sama PKA. Kok  jauh banget ? Ya, nanti aja dibahasnya.

Kuliah di Depok itu cita-cita saya dari SD (kelas 5). Sementara jadi Psikolog itu cita-cita dari kelas 3. Tapi tertahan karena saya dulu tidak diperbolehkan kuliah di luar Bandung, sedangkan kampus negeri Bandung psikologi harus IPA, jurusan saya waktu SMA IPS dan saya ngga mau ambil IPC. *pusing banget harus belajar kimia, jurnal aja it's enough* Jadi, karena itu saya "nyasar" ke jurusan manajemen di kampus swasta katolik. Sebenarnya diterima juga di kampus swasta dengan jurusan psikologi, tapi entah kenapa ngga saya ambil. Mungkin karena kurang sreg waktu itu.*tp mau daftar lagi buat cadangan pasca sarjana kali ini -__-"

kartu peserta :)

Tanggal 12 saya berangkat ke Jakarta (lewat Depok sekalian cek lokasi). Saya belum pernah ke UI, cuma pernah ke Depoknya aja. Ternyata UI memang sangat luas sekali dan hutannya itu loh, udah mirip kaya hutan samping jalan tol, rimbun banget. Sebenarnya saya takut petir dan Depok sebagai daerah petir nomor satu dunia(?) ngga bikin semangat saya hilang buat masuk UI (walaupun ya kemaren-kemaren kepikiran BANGET).

Di fakultas Psikologinya, saya disambut 2 ekor kucing. Karena saya pecinta kucing, mama saya langsung aja nyeletuk, "Wah, disambut sama kucing, kayanya masuk." *dalam hati: AAMIIN*. Di sana saya tanya ke satpam dan diberi list nomor ujian dan ruangan. Saya dapat ruang di atas perpustakaan psikologi. Sayangnya, ternyata di ruangannya belum ditempeli nomor ujian. Tapi firasat sih duduknya di ujung (kalau ngga depan ya belakang, karena nomor ujian yg pangais bungsu di ruangan itu).

Sepanjang jalan-jalan keliling psikologi UI, ketemu Teteh-Teteh cantik terus. Terus ketemu semua orang yang ramah. Sampai mama bilang, "Kayanya kamu diterima nih. Semoga diterima. Di sini orangnya cantik-cantik banget ya."*dalam hati AAMIIN terus.

Menjelang malam saya ke Jakarta, ke kos papa. Papa kerja di Jakarta dan kost karena rumah di Bandung. Sebenarnya saya dalam kondisi kurang sehat pas berangkat untuk ujian, udah seminggu sakit batuk, tapi bukan flu. Kena wabah di komplek. Malamnya, di kost papa, batuknya malah menjadi-jadi dan ngga berhenti. Plus, malah kedatangan si bulan hari itu juga. :( Tapi malamnya dipaksakan tidur setelah minum decongestan+antihistamin, walaupun kebangun-kebangun karena batuk terus, keringetan terus. Jam 3 kebangun dan akhirnya dipakai siap-siapin barang, jam 4 mandi, setengah 5 berangkat, sampai UI kepagian. Jam setengah 6 kurang sepuluh menit, masih gelap. -_-"

Akhirnya nunggu di mobil sampai jam 6 lebih. Jam 6 lebih menuju ruangan tapi pengawasnya aja belum dateng, jadi muter-muter dulu, merenggangkan badan (dan otak?). Bukannya belajar ya, abis saya ngantuk sekali plus ngga enak badan. Jam setengah 7 siap-siap masuk ruangan dan pengawasnya baru datang + nempel no ujian. Nungguin sampe jam 7. Masuk ruangan, alhamdulillah duduk dekat pintu dan di depan. :D 

Tes pertama ituTPA, tapi pengawas nyebutnya PEKA. Saya bilang TPAnya suliiit. Mungkin karena yang tes bukan hanya untuk S2 tp juga S3 ya. TPAnya butuh perjuangan, apalagi untuk SETIAP JAWABAN SALAH -1. Harus super teliti dan hati-hati sambil tetap berpikir cepat. TPA ada 3 bagian, tiap bagian 1 buku dan punya waktu berbeda. Pertama tes verbal 30 menit (40 soal). Kedua tes kognitif, matematika 35 soal 50 menit. Memang sih soal matematikanya ngga serumit kalkulus, tapi susah juga karena waktunya sempit. Ketiga tes logika (banyak matematikanya juga), 40 menit 30 soal. Mungkin saya pusing efek ngantuk+batuk selama tes :(. Hiks, pesimis. Tapi tetap berharap.

Setelah itu, ada istirahat 45 menit. Awalnya mau jajan ke alfamart, tapi melihat antrian mengular, balik lagi, minum air putih yang bawa sendiri aja, lagian batuk terus, bingung mau makan apa. Sempet ngobrol sama peserta asal Samarinda dan asal UI (yg ini dia sambil belajar materi Bahasa Inggris, beda emang mental anak UI, hehe).

Tes Bahasa Inggrisnya TOEFL banget dikurangi listening. 90 soal 90 menit. *kayanya sih 90 soal di buku soal saya* Tes ini tanpa penalti, jadi saya jawab semua-muanya. Saya malah ngerasa Bahasa Inggrisnya lebih mudah (soalnya udah parno karena lemah di Bahasa Inggris). Tapi ada insiden, soalnya ada peserta yang ngga tahu kalau ternyata soalnya 90, dia kira cuma 60. Jadi LJKnya itu bolakbalik, dan peserta itu ngga periksa kalo dibaliknya ada lanjutan untuk pengisian. Dia bilang dia ngga isi 35 soal. .___.

But, yang menyenangkannya, walaupun saya ujian dalam keadaan sakit, ngga bisa ngerjain TPA, tapi entah kenapa seharian itu sama sekali ngga ada yang mengesalkan saya. Hebat loh, saya bisa ngga kesal di posisi sakit dan kedatangan bulan. Hari itu semuanya terasa ploooong banget. Terlepas dari susah bangetnya soal ujian masuk UI, saya masih teruuuuus berharap kalau saya bisa lolos dan lulus jadi mahasiswa pascasarjana di sana. Semoga Allah tahu kalau saya pengeeeeeeeen banget kuliah di sana. Semoga ada kesempatan, rezeki, dan kemampuan. 

AAMEEN.

-regards, PuteriHujan-

#14042014. 06:45 PM