kirimkan hujan ini ke . . .

Minggu, 18 Mei 2014

My LIfeLong Dream (part 3-finish)

Tanggal 18 Mei adalah hari penentuan. Penentuan usaha capek-capek kemaren. Jam 12 teng biasanya sudah bisa dilihat. saya lihat Subuh kalau tidak salah. Saya masukkan semua nomor ujian peserta mapro PIO, dari nomor 1-48 (tentunya saya yang terakhir. Seluruh teman yang saya kenal tidak lolos, tambah deg-degan aja. Eh tapi, peserta yang diwawancara sampai menangis sebelum giliran saya, dia lolos, yang sesudah saya pun lolos. Saya...? Tidak.
Maaf yang itu lagi... lagi, lagi.

Lumayan sedih rasanya melihat usaha capek-capek dan lapar-lapar itu jadi angin, fiuh. Meskipun gelagat tidak diterima udah ada sejak liat para penguji. Kemampuan saya dari S1 memang belum sampai sana. Kalau dua orang almamater yang saya nilai hebat saja tidak lolos, bagaimana saya, yang belum hebat? Kecewa sih tidak, ngan lebar acisna euy sajutaeun, mun daptar deui dua jutaeun. Jadinya malah bingung. Lantas apa yang akan saya lakukan selanjutnya ?

Menunggu jodoh sama impian saya, sambil terus berusaha, bikin rekomendasi ke Jogja, wawancara ke Depok. Atau daftar univ yang pasti lulus, padahal saya berharap sebisa mungkin saya jangan kuliah di sana. Yaa, itulah. JODOH. Mungkin Tuhan suruh saya membaca pertanda, seharusnya saya masuk PKA saja. Niatan awal mengapa saya kuliah psikologi ada di sana, di PKA (kalau mentok boleh deh PKD, atau forensik). Kemarin itu saya hampir mendaftar PKA, cuma bimbang. Bukan masalah tidak suka materi, justru saya lebih suka yang klinis daripada pio begitu. Meskipun skripsi saya pio.

Saya takut sama anak-anak. Yap, kalau ada orang takut sama kucing (makhluk kecil paling cantik sedunia -menurut saya-), saya takut pada anak manusia. Usia-nya dari 1-9tahunan. Entahlah, saya takut saja, bingung emangnya harus ngapain sama anak kecil. Sebel kalau ada anak kecil yang super bandel. Ugh. Mungkin setiap melihat anak kecil akan membangkitkan trauma saya, ingat apa-apa yang terjadi sewaktu saya kecil sehingga saya ngotot jadi psikolog. Saya ingin "balas dendam" dengan cara yang benar. Tapi, saya takut anak kecil. Sedangkan PKA, kliennya sudah pasti anak kecil. Kalau tidak bisa meladeni anak kecil, pasti terhambat deh tuh, tugas-tugas. Seumur hidup saya tidak pernah menggendong anak kecil pun. Bicara sama balita saja cuma sama sepupu. Jadi, apa yang saya takutkan itu adalah jodoh saya ?

Lagi-lagi JODOH. Tuhan sebaiknya jangan mengirimkan pertanda, karena otak saya lemot membaca pertanda. Saya lebih memilih dipilihkan, saya juga bingung bagaimana mungkin bisa Tuhan langsung memilihkan tanpa mengirimkan pertanda. Saya melamar kerja, tak ada yang jodoh. Emm, ada sih, PTI seleksi masih berlangsung (mengharap saja karena belum ada pemberitahuan siapa yang lolos). Kuliah pun saya pilih impian, belum direstui. Rasanya sedih, bukan karena tidak lolos dari satupun yang sedang diusahakan. Sedih karena sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, lambat membaca pertanda.

Target menikah saya (paling telat) usia 27 tahun. Tapi masa, saya harus nganggur sambil mencari imam saya ? Kecuali saya nikah besok, mungkin jodoh-jodoh yang lain tak harus sedih bagaimananya, karena rupanya begini. Tapi tidak mungkin menikah semudah itu, yang entah langsung ketemu nikah (ngeri, saya phobia orang asing). Saya bingung mengusahakan jodoh saya di perusahaan atau institusi pendidikan. Mungkin usaha saya kurang keras dalam berusaha menemukan jodoh-jodoh itu. Mungkin hidup saya masih terkungkung ini-itu.

Akhirnya saya memutuskan jeda, setelah leha-leha 8bulan pasca wisuda, sisa bulannya kelabakan lamar-lamar para jodoh sana-sini. Jeda sampai tanggal 27-28 Mei ini. Untuk refreshing sih, karena janjian traveling. Mungkin diperjalanan dan pertemuan dengan teman-teman, saya jadi bisa berpikir jernih, lebih jernih. Mungkin Tuhan sedang menyiapkan jodoh terbaik buat saya, jadi saya harus menyiapkan diri, entah jodoh mana duluan yang menghampiri. Semoga Tuhan tidak lagi mengirimkan pertanda karena tahu hamba-Nya yang satu ini lemot sekali membaca pertanda. Semoga Tuhan langsung menunjuk, kejadian-kejadiannya accidental, kebetulan, tiba-tiba. Tak apalah untuk kali ini biar hidup jadi kejutan. Doakan saya ya !

*p.s. dear, Tuhan Sayang, hamba-Mu ini, bingung harus apa.

-regards, PuteriHujan-
18052014. 07:33PM

are not


Ini harinya, patah hati. Setelah kejengkelan setiap jengkal jari. Jauh dari dugaan, meskipun sudah ditakutkan. Kata "maaf" itu terpampang lagi. :(

Entah kenapa rasanya tak percaya saja. Sepertinya semua payah sudah diupaya. Tuhan, Sayang, seperti apa selanjutnya ? Hamba-Mu ini gelap pandangan, tak tahu lagi ke mana berjalan, lelah ditekan, segan tertatih sendirian.

Tuhan pasti punya rencana yang sangat baik, jauuuh lebih baik. Cuma Tuhan, rasa sakit dalam perjalanannya tolong dibuat mati rasa. Bosan dengan rasa sakit yang sama, itu-itu juga, seperempat abad lamanya.

Terselip lega di antara kecewa, kecewa yang tidak sakit. Mungkin karena kekecewaan lain membius sakitnya lebih dulu.

Tuhan Sayang, perhatikan orang-orang yang tidak mampu kuperhatikan dan meminta perhatianku. Berikan mereka orang-orang yang menjaga mereka. Sedang hamba, cukup Engkau. Cuma Tuhanku Sayang, tak apa. Satu saja. Biar jiwa utuh di antara luruh lukanya.

Terima kasih Tuhan, untuk semua anugerah dan belajar yang Kau berikan. Mohon kesempatan, hamba ingin keluar dari sini. Lelahnya hati. Pada-Mu Tuhan, kutitipkan hati. Tak apa koyak disakiti, asal hamba masih punya diri. Asal Engkau masih menemani.

Selamat tidur, Tuhan. Berikan impian yang tak terbangunkan. Biar lupa semua luka ingatan. Aamiin.

#18052014. 4:01 AM

Sabtu, 03 Mei 2014

My LifeLong Dream (part 2)

Tanggal 30 April kemarin saya menutup bulan dengan macet-macetan di  jalan dari Jakarta menuju Bandung.  Lagi-lagi Jakarta, ada apa rupanya. Seperti biasa, di Jakarta itu saya menumpang tidur. Urusan sebenarnya lagi-lagi (alhamdulillah) di Depok. Tanggal 25 April malam, saya kebetulan sedang melihat site fakultas tujuan. Ada pengumuman peserta lolos tahap 1 (ujian TPA ~yang sulit sekali dan bahasa Inggris). Alhamdulillah, Tuhan Maha Baik, saya lolos bersama 47 peserta ujian profesi PIO.

pengumuman tahap 1
Rasanya, selain bersyukur, saya sekaligus tidak percaya. Besar benar kuasa Tuhan ya, saya yang merasa bukan siapa-siapa dan rendah diri karena lulusan kampus swasta (yang ketika disebut namanya orang juga tak tahu tentangnya) bisa lolos seleksi bersama almamater dari sekolah-sekolah keren. (saya baru tahu ketika melihat daftar absen). Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah, Allahku. :)

Kemudian, ditetapkan hari Selasa, tanggal 29 April, saya harus ikut ujian tahap 2 (psikotes, fgd, wawancara). Lebih mirip tes kerja tahap dua memang ya, karena selain profesi, tesnya hanya berupa tes tulis. Selain itu, saya juga harus melengkapi syarat-syarat berkas untuk dikumpulkan, dan... surat rekomendasi!!! Padahal, sebelum mendaftar saya sempat bertanya ke pmb, apakah ada surat rekomendasi.  Jawabannya sih, tidak ada, karena hanya dibutuhkan untuk mereka yang S3 (doktor). Jadi, fix saya kaget dan lemas. Karena kampus di Jogja, saya di Bandung, ujian di Depok. Waw.

Berterima kasihlah kepada teknologi, pertama-tama, karena rupanya surat rekomendasi boleh berupa scan. (tapi saya tetap tak mengerti bagaimana agar amplopnya di ttd, tokh sudah tidak rahasia karena scan, kan, jadinya saya tak pakai amplop yg ditandatangai :( ). Selanjutnya, terimakasih kepada yang mau repot memohonkan surat rekomendasi sebagai perpanjangan tangan saya; makasih Sayang. Terakhir, penting... terima kasih kepada empunya tandatangan dan pemberi rekomendasi yang mau saya rusuh-rusuh. :)

Surat rekomendasi saya baru jadi hari Minggu, sementara saya masih bingung akan berangkat hari apa, menginap di mana. Akhirnya saya berangkat bareng papa (fyi, ayah saya kerja di Jakarta dan mengontrak di sana). Di Jakarta saya menginap di kontrakan bareng-barengnya papa dengan teman kantornya. Baiknya, papa juga meminjamkan mobil (yang padahal harusnya dipakai ke kantor, beliau malah naik taksi, makasih papa!) dan bahkan mendatangkan supir Bandung untuk antar saya selama ujian (karena supir kantor kan "pamali" kalo dipinjam semena-mena). Walaupun akhirnya hari kedua saya diantar supir kantor papa, karena supir Bandungnya sukses membawa saya keliling separuh Jakarta di hari pertama, NYASAR! But, thanks to GPS.

Ujian hari pertama di mulai hari Selasa, jam 8. Lumayan siang ya, tapi karena alasan MACET, sya tetap mandi jam setengah lima dan sudah berangkat jam setengah enam... dan dengan sukses sampai jam setengah tujuh. haha. Akhirnya nunggu di mobil dan jam setengah delapan baru naik ke tempat tes. Di sana sudah banyak orang rupanya. Sempat berkenalan dengan beberapa orang. Dua orang di antaranya, jadi nempel terus selama tes, karena ternyata kami sama-sama PIO.

Ujian pertama ini, seluruh peminatan berbarengan, meskipun secara duduk sudah dikelompokkan. Tesnya gampang karena bukan jawaban benar salah, tapi psikotes. Tes gambar, isi data diri, kuesioner, tes-tes kepribadian. Selesai itu, bikin SUNGAI KEHIDUPAN (yang sempat riweuh juga karena bingung gimana cara penulisannya.haha). Baru jadwal wawancara diumumkan. Ternyata PIO dapat jadwal esok hari. Sempat kecewa sih, karena kan sudah berharap prosesnya sehari saja.

(lalu saya pulang dan nyasar berkeliling separuh Jakarta, memutari tugu tani beberapa kali, mungkin kalo lebih sering lagi bakal dapat cangkul)

Ujian hari kedua bikin deg-degan. Karena dalam pengumuman kami dibagi beberapa kelompok yang terdiri dari 9-10 orang dengan 2 psikolog. Pengumumannya cuma bilang wawancara. Ternyata, pas di tempat ujian, kami juga fgd di ruang dosen (jadi dejavu bimbingan skripsi bebarengan). Fgd berlima-berlima, berarti kami yang 10 orang ini dibagi lagi dua kelompok. Saya dapat kelompok fgd pertama. Berlangsung cepat karena ada dua anak UI di kelompok saya. Memangnya kenapa? Anak UI itu leadershipnya BAGUS BANGET. Mereka berdua bisa membuat semua punya kesempatan bicara dan menghentikan yang kebanyakan bicara (karena memangkas waktu pembicara lain). Makasih dan keren.

Setelah dua kelompok dari kelompok 10 orang fgd, lalu wawancara. Wawancara di kelompok saya berjalan sangaaaaat lambat karena jeda dari tiap peserta bisa 15-30 menit sendiri. Sementara kelompok lain begitu ada yang keluar yang lain langsung masuk. Tapi, terima kasih buat Disna dan Nurul yang mau menemani saya sampai saya selesai wawancara (semoga kita bertemu saat daftar ulang ya, aameen).

Menunggu saja sudah bikin gugup, belum lagi cerita-cerita peserta yang macam-macam setelah selesai wawancara. Ada yang dipojokkan, ada yang ditanyai materi, ada yang ditanyai skripsi, ada yang dibandingkan kecerdasannya dengan almamater. Macam-macam. Terakhir, yang bikin jantung lumayan melorot, peserta sebelum saya menangis keluar dari ruang wawancara. Aaak. Tapi saya kuatkan hati. Ah, emang mau diomongin kaya apa sih sampai nangis begitu. Pasti ngga ada yang lebih galak dari mama saya. Haha.

Di dalam adem (karena ada AC). Saya yang sulit senyum ini, pasang muka full senyum padahal sudah lusuh, lapar, dan mengantuk. Pertanyaan yang keluar standar, sama kaya wawancara psikolog kerja. Cuma di sini saya kebagian ditanya materi dan skripsi (yang sudah saya lupa) juga. Untungnya skripsi bikin sendiri dari A-Znya, jadi minimal ingat garis besarnya. Pewawancaranya ada yang Doktor, jiper banget pas tahu akan diwawancarai beliau. Tapi, bagaimanapun, alhamdulillah lancar sampai keluar ruangan.

Well, meskipun saya tidak tahu apa hasilnya kelak. Tapi semoga semua usaha saya dan doa-doa saya direstui Allah. Saya tahu Allah Maha Baik dan Maha Pemberi. Semoga Allah memberi restu saya melanjutkan study di kampus imipian saya ini. Semoga doa-doa mereka yang diam-diam mendoakan diijabah. Semoga, bulan September  tahun ini, saya sudah bisa ikut kuliah di kampus yang saya impi-impikan. Aameen.

Manusia  berusaha. Manusia berdoa. Allah yang merestui. :)

-regards, PuteriHujan-

#03052014. 12:05 AM