kirimkan hujan ini ke . . .

Minggu, 25 Januari 2015

H U M A N (S)

Lama sudah tak menulis lagi. Semenjak masuk pascasarjana waktu memang tersita sekali. Hidup pun berubah seiring mimpi. Tapi, saya tetap jadi orang yang sama hanya berusaha lebih baik setiap kali. Berapapun manusia yang telah saya temui, rasa-rasanya tak akan saya jadi mereka. Ah, lebih baik jadi diri sendiri yang upgrade setiap kali.

Jadi...kuliah saya sudah mulai sejak September tahun kemarin. Awalnya saya enggan sekali kuliah karena: 1.Bukan kampus impian saya; 2.Sebagai orang Bandung, cuma saya yang almamater kampusnya bukan di Bandung, malas menjelaskan kepada mereka-mereka setiap kali bertanya darimana; 3.Bertemu orang baru bukan hal favorit saya.

Singkat cerita, kuliahlah saya dengan pertimbangan uang bayaran yang sudah diserahkan. Meskipun jurusannya klinis, saya kan orangnya industrial banget, sejak S1 ancang-ancang ke PIO, lulusnya kerja di perusahaan besar dan bonafide, punya usaha sendiri, dsb. Tapi mungkin inilah jodoh. Meskipun mimpi saya untuk jadi pengusaha belum padam juga. Apapun jurusannya, lulusnya tetap jadi pengusaha, begitu moto saya.

Kuliah di pascasarjana ini membuat saya harus bertindak semakin dewasa. Apalagi karena berhadapan dengan para calon psikolog semua. Bertindak dewasa itu bukan memakai topeng dan berpura-pura bahwa semua baik-baik saja, dewasa itu bagaimana kita bisa bersikap sesuai waktunya, bagaimana menyampaikan emosi yang kita rasa tanpa menyakiti manusia yang lainnya. Ah, iya manusia...

Saya bertemu macam-macam manusia sejak masuk pascasarjana. Dari teman sekelas sampai mereka yang harus dijadikan OP, dari dosen sampai mamang-mamang tukang jualan. Banyak sekali orang baru yang ada dalam rutinitas saya lima bulan belakangan ini. Macam-macam rupa, macam-macam jiwa. Memilih-milih teman yang selama ini ada di kamus hidup saya tiba-tiba tidak bisa terpakai begitu saja. Tapi, saya tetap pada pendirian bahwa kita harus memilih orang-orang yang masuk dalam kehidupan kita, mereka yang hebat-menghebatkan-dihebatkan. Hubungan harus ada timbal-balik seperti itu.

Kebiasaan saya adalah berteman dengan manusia-manusia yang dijauhi, dianggap menyebalkan, atau punya cap buruk pada masa lalunya. Iya, mereka yang tidak hebat, tapi mungkin bisa menghebatkan dan dihebatkan. Sesekali saya tergoda dengan beberapa manusia yang terlihat hebat, meski nyatanya tak selalu hebat atau bisa menghebatkan. Lantas baru saya sadari, dari manusia-manusia yang dianggap tidak hebat itu beberapa di antaranya memang begitu. Maksudnya, sebenarnya bukan mereka tidak hebat, tapi cara mereka menghebatkan dirinya adalah dengan menjatuhkan orang lain. Menjatuhkan orang lain bukan hal hebat untuk dilakukan.

Untungnya (orang Indonesia selalu mengambil "untung" (baca: hikmah) dari setiap masalah), karena belajar psikologi klinis, punya banyak teman yang lebih tua, punya teman-teman curhat yang IQ-nya tidak melati sehingga setiap kali saya berkeluh-kesah saya diajari bagaimana menghadapi, bukan melampiaskan emosi (makasih), saya menjadi tahu apa yang harus saya lakukan kepada manusia-manusia yang dianggap tidak hebat itu. Menjauhinya jelas pilihan utama mereka yang awam soal psikologi atau ajaran agama tentang silaturahmi. Jadi saya tidak menjauhi, sebesar apapun rasa tidak suka dan sakit hati kepada mereka. Manusia-manusia seperti itu tidak perlu dijauhi, sudah banyak orang yang menjauhi mereka, saya tidak perlu jadi salah satunya.

Lantas, bagaimana ? Untuk hal ini saya menggunakan reaksi formasi, yaitu memunculkan sikap yang berlawanan dengan emosi. Jadi ketika tidak suka bersikaplah baik, lebih baik lagi kepada mereka. Reaksi formasi ini bukan bersikap munafik ya, yang hanya baik di depan manusia-manusia tidak hebat itu. Tapi, harus tetap baik, selalu baik, di depan mereka, di belakang mereka, bahkan ketika ada orang-orang yang membenci mereka. Karena balas dendam terbaik adalah bersikap penuh kasih sayang kepada mereka yang bersikap buruk dengan kita. Kita belajar dewasa, mereka menghebatkan diri kita dengan menjatuhkan diri mereka, tapi kita berusaha menghebatkan mereka. Tuh, keren banget kan. Susah sih, sangat susah, apalagi karena cap buruk yang melekat pada mereka bukan tanpa alasan, mereka pasti keras kepala dengan perlakuan buruknya kepada orang lain. Tapi, setiap kebaikan ada jalannya. :)

Sayang sekali, tidak semua manusia tidak hebat bisa diatasi dengan reaksi formasi. Ketika sikapnya melunjak, tentu kita harus ambil langkah lainnya. Jaga jarak. Tetap bersikap baik tapi jaga jarak. Pelajari kapan harus bersikap baik, kapan harus menjaga jarak. Untuk versi asertif-nya, kita bisa bicara langsung kepada yang bersangkutan empat mata atau pakai mediator atau pakai alat perekam. Kenapa ? Karena mereka dikenal "naik dengan menjatuhkan yang lain", untuk jaga-jaga agar bicara kita tidak dijungkirbalikkan faktanya. 

Manusia-manusia tidak hebat lambat berubah menjadi lebih baik karena mereka keras kepala, bahwa yang mereka lakukan adalah benar, sementara orang-orang lain yang tidak menanggapi, tidak serupa adalah salah. Manusia-manusia tidak hebat cenderung berpandangan negatif kepada hampir setiap orang, selalu ada yang salah dari orang-orang di sekitarnya. Untuk itu, jika kita bersama seseorang yang hampir selalu bicara tentang keburukan orang lain tanpa tedeng aling-aling meski kesalahan orang itu sama sekali tak merugikan dia, maybe dia adalah manusia tidak hebat. Manusia tidak hebat selalu menghebatkan dirinya di depan orang lain dengan cara menjatuhkan orang lain, ketika keadaannya berbalik, mereka akan bersikap seolah korban situasi. Singkatnya, mereka manipulatif dan kadang-kadang agresif.

Untuk sementara, karena Minggu menjelang siang, itu dulu sekilas tentang segolongan manusia yang sempat saya temui lima bulan belakangan ini. Lain waktu diceritakan lebih lengkap lagi. ;)

"Naiklah tanpa menjatuhkan orang lain", socmed copasted

-regards, PuteriHujan-

#25152015. 6:53 AM