kirimkan hujan ini ke . . .

Senin, 16 Mei 2016

WOUNDED HEALER

Kata-kata yang basi. Hati yang rapuh patah berkali-kali. Padahal saya bukan lagi penyembuh, tidak lagi. Semenjak saya menyadari bahwa ada yang begitu berbeda dari diri saya, saya mengambil langkah pelan-pelan untuk berhenti. Tidak lagi menjadi penyembuh kecuali kewajiban atas nama profesi (kelak). Jadi, kelak saya akan menyembuhkan bukan karena hati, alasan emosional manusia belakangan ini. Tapi karena tugas dan sumpah yang harus ditepati. Yah, itu jika saya masih berkeras ituk meneruskan yang katanya mimpi. Ah, tidak mimpi saya bukan itu. Sepertinya saya tidak lagi punya mimpi, begitu.

Entah hati yang terlalu rapuh sehingga menyelinapkan foto-foto menyakitkan ke otak yang lalu dipenjara dalam benak. Atau nalar tak lagi tangguh sehingga sedikit kata-kata, sedikit laku biasa dimaknai luka hingga menyayat hati sedemikian rupa. Banyak yang terjadi setahun ini... dan sepertinya sudah dimulai sejak manusia-manusia yang terakhir itu kuceritakan. Ah, rasanya saya tak mampu lagi bersama mereka. Rasanya payah dam akhirnya hati luka-luka.

Kisah masa kecil yang penuh trauma sudah bukan lagi rahasia. Saya sudah bisa menyebarkannya sedikit-sedikit, bukan untuk membuat iba, hanya melepas apa yang dipenjara. Tapi lalu trauma-trauma itu membuat jaring laba-laba, mengikat luka dan menamai setiapnya. Akibatnya, apa dan siapa sudah tidak mampu lagi saya percaya. Karena, apakah jika saya percaya mereka akan menjaga saya, seperti saya menjaga mereka. Karena ditinggalkan adalah keniscayaan yang tinggal tunggu waktu saja.

Teori-teori bilang seharusnya yang tidak saya percayai adalah akal yang saya kira masih walafiat. Teori bilang seharusnya saya berpikir lebih positif dan menyeimbangkan diri lebih kuat. Katakan pada saya bagaimana seharusnya mengubah pikir ketika yang kau hadapi realita. Bukan kira-kira belaka. Bukan hati yang terlalu peka merasa. Masihkah aku harus menyerahkan percaya meski ingkar di depan mata ? Atau manusia saat ini lebih suka pura-pura ? Saya dengar, bermuka dua adalah syarat menjadi dewasa.

Sayangnya, saya tidak pernah setengah-setengah dalam laku. Saya puas dengan satu. Buat saya sebuah lebih menggenapi daripada dua namun rancu. Tapi kadang-kadang saya belajar menjadi munafik itu perlu. Terutama tujuh bulan belakangan ini. Penderitaan terus bertambah tujuh bulan belakangan ini. Mengekang segala hasrat emosi sudah tak mempan lagi. Pertahanan lama-lama runtuh. Air mata lama-lama luruh. Ah, lalu saya butuh bahu. Yang tak pernah hadir setiap waktu.

Tujuh bulan ini saya dipaksa bertahan sendirian. Lebih sendirian lagi dua-tiga bulan belakangan. Di mana dunia yang saya percayai akan membaik setelah setiap kali episode-episode ini mendera ? Ke mana peluk-peluk dan hangatnya kekata ? Hilang, mungkin semesta tak paham bagaimana saya membutuhkan sebuah tempat untuk pulang, atau semesta mengisyaratkan saya harus pulang yang sebenar-benarnya.

Harusnya saya tidak mengurusi segala yang bukan urusan saya, harusnya saya pergi mengemasi apa-apa yang tersisa (jika ada) sesegeranya. Mumpung luka masih sedikit terbuka. Tapi apa daya, mungkin karena saya manusia dan bukan dewa. Segalanya terasa harus saya ketahui untuk jaga-jaga. Ah, seharusnya saya berpegang pada. "Tidak tahu itu anugerah." Seharusnya begitu agar saya tidak sakit-sakit melulu.

Saya terlahir tanpa pelindung sehingga trauma yang sedemikian rupa bebas sesukanya menghampiri masa kecil saya, menjadikan trauma adalah bagian yang paling saya ingat di antara kenangan lainnya. Bagaimana rasanya diabaikan, bagaimana rasanya tidak diinginkan, bagaimana rasanya sendirian, bagaimana menjadi seorang kesepian. Saya terlahir begitu saja untuk menghadapi semua rasa-rasa itu. Hingga saat ini rasanya tetap sakit, tapi biasa saja. Paling, kadang-kadang membuatmu ingin pergi jauh sekali. Sampai tidak usah kembali lagi.

Sepanjang hidup kemudian saya mencari pelindung, sialnya saya tidak (dan tidak boleh) untuk mudah percaya kepada kandidat-kandidat pelindung itu. Karena, jika bukan pelindung, ia adalah pecundang yang akan membangunkan setiap trauma yang saya kubur rapi-rapi dan saya hiasi dengan "senyuman tidak apa-apa." Sejauh ini saya meninggalkan satu atau dua pelindung dan berbaur dengan banyak pecundang. Tapi, saya hanya bisa mengurusi hati sendiri. Tidak berhak mengatur-atur para pecundang sekalipun mereka menyakiti saya. Jadi saya diam-diam dan menyepi, kalau-kalau sakitnya ini bisa pergi. Untungnya, setiap kali, saya masih bisa berkawan sebentar-sebentar, bertemu sebentar-sebentar dengan The Fools. Mereka seperti saya, naif dan polos. Sama-sama percaya pada pecundang dan menganggap beberapa pecundang adalah pelindung.

Akhirnya, hari ini saya sadar dan benar-benar sadar harus berhenti mencari. Tidak ada seorang pelindung pun yang saya miliki. Jika beruntung, sesekali saya bisa meminjam pelindung dari sesama The Fools, tapi tidak selamanya karena kebahagiaan hanya meminjamkan. Saya sama sekali tidak boleh bersandar pada apapun sembarangan, karena nyatanya saya tidak punya pelindung. Pelindung-pelindung yang dikirimkan Tuhan tidak menganggap saya ada. Jika mereka melihat bahwa saya ada, maka saya adalah sesuatu yang harus dibersihkan.

Oia, saya masih memercayai Tuhan. Tapi saya bukan wounded healer, saya tidak akan menyembuhkan siapapun jika luka saya tidak pernah sembuh. Atau saya bisa tetap mempunyai luka dan menyembuhkan, namun harus lebih banyak berkorban. Di saat bayangan-bayangan menyakitkan itu datang, saya yang sendirian tidak bisa apa-apa. Hanya berharap Tuhan sudi memeluk, karena hanya Dia satu-satunya tempat untukku pulang.

-regards, PuteriHujan-

#16052016. 00:15 AM