kirimkan hujan ini ke . . .

Selasa, 26 Oktober 2010

(still) Finding Nimo (?)


"Finding Nimo"
Rasanya dua frase itu sudah tidak asing lagi. Ah, tidak, bukan. Bukan "Finding Nemo", bukan mencari ikan badut. Nimo, dan bukan Nemo. Nimo adalah tokoh utama cowok di novel teenlit "Cintapuccino" yang kemarin-kemarin itu sudah difilmkan. Ceritanya, Arrahmi (si cewek pemeran utama) sedang mencari obsesinya, Nimo. Dia mencari Nimo. Padahal, saat itu dia sudah bertunangan dengan seorang cowok, namanya Raka. Endingnya, Rahmi meninggalkan Raka untuk mengejar obsesinya, Nimo.

Dan bertahun-tahun lalu, saya banyak menuliskan frase itu. Saya sering sekali mencari Nimo. Dulu, Nimo yang saya cari adalah seseorang. Hanya saja, berbeda dengan Rahmi, Nimo yang saya cari bukan obsesi saya. Bahkan, saya belum pernah mengenalnya. Saya hanya mencari. Saya mencari Nimo.

Bagi saya, Nimo yang ada dalam pikiran saya adalah seseorang yang nantinya akan mendampingi hidup saya. Karena pada saat itu, saya tidak merasa bahagia, maka saya berkhayal (dan berharap) bahwa Nimo akan membawakan kebahagiaan untuk saya. Kemudian, saya bertemu dengan seseorang yang saya pikir akan menjadi Nimo. Tapi, eh, kok, dia malah mirip Raka. Lantas saya mencari lagi, dan menemukan seseorang. Tidak persis seperti seorang Nimo. Tapi, saya pikir dia adalah pertanda-pertanda yang dikirimkan Tuhan pada saya. Dan saya berusaha memercayainya.

Bukan hidup namanya kalau cuma bahagia. Tebakan saya tentang Nimo ini salah. Orang itu pergi, dan kemudian saya mencari-cari lagi Nimo yang lain. Tidak pernah ketemu. Saya akhirnya menyerah, tidak pernah mencari. Mungkin, Nimo untuk saya bukan seseorang, tetapi berwujud sesuatu. Mungkin. Semoga. :)

***

Ketika saya memutuskan untuk tidak lagi mencari Nimo, semuanya terasa lebih mudah. Entahlah, saya merasa bebas dari apa. Yang jelas, tidak ada lagi beban untuk mencari Nimo. Tidak ada lagi kriteria-kriteria mengikat untuk memastikan bahwa Nimo harus seseorang, bukan sesuatu. Saya bebas! Dan hebatnya, di dalam kebebasan itu, saya malah menemukan seseorang. Di saat saya memutuskan tidak akan mencari, saya malah menemukan, Tuhan malah memberikan. Tapi, saya yakin dia bukan Nimo. Saya tidak pernah terobsesi padanya, pun begitu sebaliknya. Seseorang yang bersama saya (sampai saat ini), bukan Nimo. Dia adalah dia. Bukan siapa-siapa. Dan saya tidak mau menjadi terlalu naif dengan menyamakannya dengan apa-apa, dengan siapa-siapa. Karena, tidak ada satupun yang sama di dunia ini, dan tak pernah ada yang suka dibandingkan. (baca deh, post saya sebelum-sebelumnya. ;) )

Saya pikir saat itu, permainan "Finding Nimo" saya sudah usai. Sehingga saya tak perlu mencari lagi. Saya pikir, inilah yang saya cari-cari sejak dulu, sejak pertama kali saya memainkan "Finding Nimo". Tapi, saya salah. Iya, saya salah. Ternyata, saya belum bahagia seperti Arrahmi ketika menemukan Nimo-nya. Bukan berarti saya tidak bahagia, tetapi saya belum bahagia. Ada yang masih terasa kosong, bahkan dengan kehadiran dia. Dan saya masih mencari kebahagiaan yang belum lengkap itu.

***

Ceritanya...
Sebelum menemukan dia (atau bertemu dan saling menemukan), saya berada di Bandung. Saya sedang menghadapi fobia saya yang adalah kehilangan. Saya sedang menghadapi ketidakbebasan saya, berada di sangkar emas. Saya sedang bertahan dalam keterpaksaan saya menjalani kehidupan saya yang bukan saya. Dan saya depresi. Sangat depresi. Buat saya, itu seperti tabrakan beruntun. Sudah jatuh tertimpa tangga. Putus. Nilai-nilai di kampus yang sangat buruk. IPk rendah. Sendirian. Kuliah bukan di jurusan yang saya senangi. Saya merasa skak mat saat itu.

Lalu, saya memutuskan untuk berlari. Menyepikan diri dari berbagai masalah dan sakit-sakit itu. Bermeditasi. Saya belum siap menghadapi sakit-sakit itu. Saya hampir gila. Saya menangis setiap siang, malam, setiap kali bangun sampai jatuh tertidur lagi. Setiap kali. Sampai-sampai semua orang memuji mata saya yang katanya jadi indah. Iya, saking kebanyakan menangis. Mata saya terlihat sangat memelas. Hati saya sudah tak punya rasa, motivasi, keinginan untuk melakukan apapun. Karena itulah, saya mencari. Mencari rasa-rasa yang pernah saya punya. Dan berkat seorang teman, Dewi Kharisma Michellia, saya sampai ke Jogja.

Pindah ke Jogja, bukanlah hal yang mudah. Justru lebih sulit. Saya harus siap menghadapi kehilangan-kehilangan yang lain.
1. Kehilangan teman-teman terbaik saya yang kesemuanya berada di Bandung (Asri, Rana, Anie, Sita, Rara, Nessa, Anin, dan etc).
2. Kehilangan prestie karena kuliah di kampus keren, bonafide, meski IPk saya rendah.
3. Kehilangan Bandung dengan mall-mall kesayangan saya, makanan-makanan enak yang bisa ditemui di mana saja, selera fashion yang bahkan terkenal sampe mana-mana, butik-butik keren, dan gaya hidup serba enak.
4. Kehilangan segala fasilitas yang saya miliki di rumah, yang kalau mau ke mana-mana tinggal minta anter supir, yang bisa nonton TV channel luar negeri favorit saya sepuasnya, yang bisa enak-enakan tidur karena kamar sendiri tanpa mikirin listrik, makan tinggal makan karena dimasakin mama. Ah, iya, mama... Dan saya meninggalkan dia.

Namun, semua hal menggiurkan di atas nekad saya tinggalkan. Saya orang yang keras kepala, apapun yang telah saya katakan, akan saya lakukan. Dan saat itu saya tengah kebosanan, saya berada di titik jenuh. Saya merasa tidak sanggup. Dan saya hijrah ke Jogja. Jogja yang sendirian, dan sampai saat ini saya belum menemukan orang-orang yang seperti sahabat-sahabat saya di Bandung. Kampus saya, bahkan jurusan saya belum punya akreditasi dan jurasan saya dianaktirikan oleh fakultas lain yang padahal satu gedung. Kehidupan hedonis saya di Bandung jelas tidak bisa dibawa ke Jogja, atau saya akan dicap SOMBONG. Kostan (atau kontrakan), bukan tempat seindah sangkar emas saya. Apa-apa sendiri dan saya harus selalu berbagi.
nb: di rumah, mama selalu menyediakan satu-satu, jadi saya tak perlu membagi apapun dengan siapapun, meskipun itu adalah adik saya.

Dan saya menyesal. Merasa begitu bodoh karena meninggalkan banyak sekali anugerah Tuhan. Saya menghancurkan hidup saya sendiri. Sementara teman-teman saya sedang bersiap-siap wisuda, saya masih tingkat dua. Saya terjun bebas. Saya jatuh dari sangkar emas ke parit berlumpur. Saya merasa hancur.

Untungnya, saya selalu diajarkan untuk mengadu kepada Tuhan, jika memang sudah tak ada tempat lain lagi untuk mengadu. Dan saya melakukannya. Saya mengadu panjang lebar kepada Tuhan yang sebelumnya hanya tempat saya meminta. Saya sering meminta, tetapi jarang bersyukur dan berdoa. Jadi kemudian, saya bicara pada Tuhan, berterimakasih, berkeluhkesah, mengaku kalau saya begitu bodoh karena menyia-nyiakan anugerah-Nya. Dan saya tidak meminta. Saya berharap, tetapi saya tidak lagi meminta. Yang saya minta haya satu, segala yang terbaik menurut-Nya, untuk saya. Saya mengejar-Nya, karena kemarin-kemarin kebanyakan saya lupa. Saya berharap, DIA masih mau memeluk saya.

***

Meskipun sampai saat ini saya belum menyelesaikan permainan "Finding Nimo" saya, saya sudah melihat titik terang. Saya mulai mengejar cita-cita saya menjadi seorang psikolog, penulis, pengusaha, apapun itu. Saya mencari beasiswa (dan sedang memohonnya, doakan agar diterima ya! amien). Saya melakukan hal-hal yang menurut saya dan orang-orang dan TUHAN baik. Saya mencoba menyempurnakan dengan ketidaksempurnaan. Saya mencoba menyadari kebahagiaan yang ada dalam diri saya. Saya mencoba tidak terpaku dalam sakit. Saya mencoba bangkit. Saya mencoba membanggakan dan membahagiakan orang tua dan semua orang yang saya cintai dan mencintai saya. saya sedang dalam tahap percobaan.

Reruntuhan yang kemarin itu, membukakan banyak jalan baru untuk saya. Saya hanya harus memilihnya, menjalaninya dengan serius, meski jalannya tidak selalu mulus. tapi, saya harus konsisten supaya dapat sampai di ujung sana. Di semua harapan dan cita-cita saya. Dan sampai saat saya menulis ini, saya masih belum menemukan Nimo. Nimo saya adalah sesuatu, entah apa. Tapi, saya sedang menuju ke sana, menemui Nimo saya. :)

Hopefully, saya akan dapat menemui Nimo secepatnya. Doakan saya. ;)


Yogyakarta, 26 Oktober 2010 at 09.22
#terinspirasi dari film "Eat, Pray, Love" yang kemarin saya tonton.

-regards, puterihujan.

1 komentar:

puteri hujan mengatakan...

by the way...
saya nulis ini, pas sorenya Merapi meletus, yah? :'(

hikshiks