kirimkan hujan ini ke . . .

Sabtu, 02 Oktober 2010

Rain, no more...


Rasanya, saya suka hujan. Iya, sejak kecil saya suka hujan. Saya tidak tahu apa alasannya. Tapi, rasanya saya suka hujan. Saya ingat bagaimana ketika berlebaran di usia lima atau enam tahun, saya memainkan payung kesayangan, sambil sibuk ngiterin rumah tetangga-tetangga untuk bermaafan, sekalian menunggu angpao lebaran. Saya sangat suka hujan, sampai-sampai baju baru saya yang terkena noda tanah basah tidak saya pedulikan.

Sampai beranjak remaja, saya juga tidak berhenti menyukai hujan. Saya ingat, ketika duduk di kelas lima atau enam Sekolah Dasar, saya suka berhujan-hujanan. Tidak peduli, bahwa besok saya akan demam, hidung saya tersumbat, atau malah (mungkin) mampir di Rumah Sakit. Pokoknya, saya sangat suka berhujan-hujan. Berada di bawah langit sambil dijatuhi butiran hujan rasanya sangat menyenangkan.

Sewaktu saya duduk di kelas satu Sekolah Menegah Pertama apalagi. Saya sangat menyukai hujan saat itu. Entah mengapa, buat saya (ketika itu) hujan selalu punya kekuatan untuk membuat saya terdiam sejenak, mengenang masa lalu, mengigat seseorang, merasa sedih, atau singkatnya, membuat saya mengharu biru. Padahal, ketika itu, saya belum benar-benar tahu apa artinya memiliki dan kehilangan. Tapi, saya tahu, hujan berarti pilu yang sempat terabaikan.

Nah, ketika saya memasuki dunia Sekolah Menengah Atas, hujan berarti sakit hati. Hujan berarti kehilangan hati. Hujan berarti, langit sedang menangis untuk saya. Atas beberapa orang yang pergi setelah mereka mampir. Hujan berarti kesendirian yang kesepian. Hujan berarti banyak. Tapi, semakin banyak kawan saya yang menyukai hujan. Semakin banyak komunitas orang-orang aneh yang merasa dirinya terhubung dengan hati, melalui hujan. Namun, seaneh apapun itu, saya masih tetap menyukai hujan. Masih.

Memasuki dunia kuliah, yang berarti tanggung jawab dan dewasa, saya semakin menyukai hujan. Ibaratnya, saya mencari hujan. Di mana ada hujan, akan ada saya. Di mana hujan, di sana saya. Hujan dan saya, rasanya sudah membuat suatu kesepakatan. Ketika saya berdiri di atas bumi, dia akan mendatangi saya ke bawah langit. Bahkan, saya rela berhujan-hujan sepulang kuliah, padahal, di tangan kanan saya, saya menggenggam payung lipat! Bayangkan, apa pikiran orang-orang yang melihat. Mereka yang bergeleng-geleng kepala itu, mungkin akan bilang seperti ini : “
Ari eneng, cageur?”*. Saking mereka heran, apa sih yang sedang saya lakukan? Dan sebenarnya, sekarang, saya juga heran.***


Saat ini, tiba-tiba saya terheran-heran sendiri. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat saya menyukai hujan sebegitunya. Ada apa di balik hujan yang justru menambah kesepian dalam sebuah kesendirian. Apa yang saya tunggu dalam hujan yang menyimpankan pilunya sakit hati. Mengapa saya mencari hujan dan bahkan rela bermandi hujan tanpa khawatir akan terserang flu, atau demam, atau penyakit hujan lainnya. Tiba-tiba saja saya ingin tahu. Mungkin,
flashback ke masa-masa ‘menyukai hujan’. Namun, sekeras apapun pikiran saya mencari tahu, saya tidak menemukannya. Mereka bilang, saya harus bertanya pada hati. Iya, hati. Benda yang membuat logika saya tidak pasti.

Saya ingat sendiri, bahwa menyukai hujan adalah alami. Saya diajarkan untuk mensyukuri keberadaan hujan. Saya terlatih untuk menganggap, bahwa hujan adalah berkah terindah dari Tuhan yang dapat saya lihat lebih sering. Dibanding pelangi atau bintang jatuh. Jadi diam-diam saya menyukai hujan. Diam-diam menyelipkan luka-luka saya di antara tetesannya. Pelan-pelan memaknainya dalam kesunyian yang dibawa hujan sebagai teman. Sehingga saya berteman dengan kesunyian. Kemudian saya, hujan, serta kesunyian menjadi suatu komposisi yang menciptakan rasa-rasa yang khas. Rasa yang dapat dikecap dalam kekata yang dituang untuk berkisah. Meski tak semua orang menyukainya, tetapi, sebagian besar orang dapat menerka rasanya.

Saya, hujan, dan kesunyian, mungkin berteman terlampau lama. Sampai komposisi itu terasa tidak pas, hambar. Mungkin saya yang belum menemukan cara untuk memperbaharui komposisi rasa tersebut. Atau saya, hujan, dan kesunyian telah kehilangan kekhasan kami. Karena rasanya, telah lama saya menjauhi sunyi. Terlalu banyak sunyi yang berarti kesepian dan saya enggan kesepian. Saya tidak lagi menikmati sunyi-sunyi saya ketika hujan. Bagi saya, sekarang, sunyi-sunyi yang diciptakan hujan itu membunuh perlahan. Pelan-pelan dan diam-diam. Sunyi-sunyi yang diciptakan hujan itu membunuh saya dengan air mata. Saya banyak menangis karena entah apa. Saya jadi cengeng, tidak lagi ceria.

Jadi, saya memutuskan untuk berhenti menyukai hujan. Atau paling tidak, saya berhenti menyukai hujan yang mengantarkan sunyi paling kesepian pada saya. Karena saya takut, hujan membawa kembali luka-luka yang pernah saya selipkan di antara tetesannya. Saya khawatir, memaknai luka-luka itu dalam kesunyian akan membunuh saya perlahan. Pelan-pelan dan diam-diam. Tiba-tiba saya mati karena air mata saya sendiri. Menangisi entah apa atau siapa. Menerka-nerka rasa hampa yang tiada. Ah, saya hanya sudah lelah. Jenuh berkomposisi dengan hujan dan kesunyian. Mungkin ini saatnya. Mungkin ikatan mistis saya dan hujan sudah hilang. Mungkin hujan bagi saya sekarang hanya berarti : kebasahan, kebanjiran, berteduh di emper pertokoan, kilat yang menyambar, angin yang terlalu keras berhembus. Mungkin saya kehilangan kemampuan memaknai hujan. Tapi, saya masih mensyukurinya walau seringkali berharap: harusnya hujan tidak turun sesering ini.

Bagaimanapun, saya akan tetap menyukai hujan, meski tanpa makna, tanpa filosofi, dan hampa. Karena saya bertumbuh bersama hujan. Saya hanya berharap tidak membenci hujan karena mengantarkan banyak luka. Kemudian, membuat saya menjadi sakit.

-regards: puterihujan :)

(24-26/09/2010)

ket: *
Neng baik-baik saja, kan?

Tidak ada komentar: